Wednesday, December 24, 2008

Pengumuman Bank Indonesia

Sehubungan dengan libur Hari Raya Natal 2008, Tahun Baru 2009 dan cuti bersama sebagaimana telah ditetapkan oleh Pemerintah, dengan ini diberitahukan bahwa kegiatan kantor dan beberapa kegiatan operasional dilaksanakan sebagai berikut:

A. Kegiatan Kantor
Seluruh Kantor Bank Indonesia (pusat dan daerah) pada tanggal 25 dan 29 Desember 2008, 1 dan 2 Januari 2009 tidak beroperasi/ditutup untuk umum. Kegiatan operasional akan kembali normal pada tanggal 5 Januari 2009, kecuali untuk penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) sebagaimana disebut pada poin C.

B. BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)
o Jumat, 26 Desember 2008, Sistem BI-RTGS tetap beroperasi normal, dengan window time sebagaimana ketentuan yang berlaku.

C. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
o Jumat, 26 Desember 2008, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) tetap beroperasi normal.
o Rabu, 31 Desember 2008, penyelenggaraan SKNBI berlaku ketentuan sebagai berikut:
Kliring Pengembalian H+1 untuk Warkat Debet (siklus tanggal 30 Desember 2008) dan Kliring Kredit Siklus I diadakan sesuai jadwal yang berlaku.
Kliring Kredit Siklus II dan Kliring Penyerahan untuk Warkat Debet ditiadakan.
Penyediaan Pendanaan Awal (prefund) untuk Kliring Debet ditiadakan, tetapi mekanisme penyediaan Pendanaan Awal (prefund) untuk Kliring Kredit diadakan sesuai dengan jadwal yang berlaku.
o Senin, 5 Januari 2009, penyelenggaraan SKNBI berlaku ketentuan sebagai berikut:
Kliring Penyerahan untuk Warkat Debet, Kliring Kredit Siklus I dan Kliring kredit Siklus II diadakan sesuai jadwal yang berlaku.
Kliring Pengembalian H+1 untuk Warkat Debet ditiadakan.
Mekanisme Penyediaan Pendanaan Awal (prefund) untuk Kliring Debet dan Kliring Kredit diadakan sesuai jadwal yang berlaku.
o Selasa, 6 Januari 2009, penyelenggaraan SKNBI diadakan sesuai jadwal yang berlaku.

D. Layanan Kas
o Jumat, 26 Desember 2008, beroperasi secara terbatas hanya kepada perbankan.
o Rabu, 31 Desember 2008, layanan kas tidak beroperasi.

E. BI-SSSS (Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System)
o Jumat, 26 Desember 2008, BI-SSSS tetap beroperasi normal dengan window time sebagaimana ketentuan yang berlaku.

F. Transaksi Valuta Asing
o Jumat, 26 Desember 2008 dan Rabu, 31 Desember 2008, Transaksi Valuta Asing antara Bank Indonesia dengan perbankan ditiadakan.

Sumber : http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Berita/jadwal_operasi_231208.htm

Friday, December 5, 2008

Peraturan Audit Dana Kampanye Harus Jamin Transparansi

Senin, 24 November 2008 | 13:33 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Lembaga pemerhati antikorupsi, Indonesia Corruption Watch, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum membuat kesepakatan bersama menyangkut pelaporan dana kampanye. Wakil Koordinator ICW, Ibrahim Fahmi Badoh, mendesak Komisi Pemilihan Umum membuat peraturan yang bisa menjamin pelaporan dana kampanye transparan dan akuntabel.

"Komisi Pemilihan harus menambal celah-celah di Undang-undang Pemilihan Umum yang memungkinkan peserta pemilihan berbuat curang," katanya dalam jumpa pers di kantor Badan Pengawas, Jakarta, Senin (24/11). Rencananya, kesepakatan bersama Indonesia Corruption Watch dan Badan Pengawas ini akan diserahkan ke Komisi Pemilihan.

Menurut Fahmi, ada sejumlah poin yang perlu diatur Komisi Pemilihan. Antara lain, Komisi harus merumuskan definisi dana kampanye dengan lebih rinci. Pasalnya, Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif tidak memerinci definisi dana kampanye. "Bisa jadi, peserta pemilihan tak melaporkan semua penerimaan dan pengeluarannya," kata Fahmi.

Komisi juga diminta menentukan penanggung jawab laporan dana kampanye. Yaitu, ketua umum dan bendahara umum partai politik. Jika terjadi kecurangan, kata Fahmi, Komisi bisa meminta tanggung jawab ketua umum dan bendahara umum.

Menurut Fahmi, Komisi Pemilihan juga harus mengatur kejelasan dan kelengkapan identitas penyumbang dana kampanye. Kelengkapan itu menyangkut nilai nominal, alamat, pekerjaan penyumbang, fotokopi identitas, dan nomor pokok wajib pajak. Nomor pajak, kata Fahmi, harus disertakan untuk sumbangan di atas Rp 5 juta. "Sehingga tidak ada lagi penyumbang fiktif seperti yang terjadi pada Pemilihan 2004," ujarnya.

Komisi Pemilihan, kata Fahmi, sebaiknya mewajibkan peserta pemilihan memisahkan sumbangan individu dan perusahaan murni dengan individu dan perusahaan terafiliasi. Ketentuan ini menghindari pemecahan sumbangan kampanye ke berbagai pihak yang jika dihitung melampaui batas maksimal.

Selain itu, Komisi Pemilihan juga harus membuka kemungkinan audit investigatif jika ada indikasi peserta pemilihan melakukan kecurangan. Jika terjadi kecurangan, kata Fahmi, Komisi Pemilihan dan Badan Pengawas juga harus menindaklanjuti hasil audit tersebut. "Harus ada tindak lanjut saat tahapan pemilu masih berjalan atau sesudahnya," kata Fahmi.

Anggota Badan Pengawas, Wahidah Suaib, meminta Komisi Pemilihan bersikap transparan soal audit dana kampanye. "Kalau tidak ada transparansi, akan timbul lebih banyak masalah. Tumpukan masalah ini malah menjadi bom waktu untuk Komisi Pemilihan," katanya.

Wahidah juga mendesak Komisi Pemilihan meminta payung hukum baru soal audit dana kampanye. Payung hukum ini untuk memberi waktu lebih lama bagi kantor akuntan publik mengaudit dana kampanye. Selain itu, payung hukum ini memungkinkan Komisi Pemilihan meminta tambahan tenaga auditor dari lembaga seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. "Tanpa payung hukum ini, audit dana kampanye hanya menjadi formalitas," katanya.

Pramono

Sumber : http://tempo.co.id/hg/nasional/2008/11/24/brk,20081124-147728,id.html

Audit Dana Kampanye

Menjelang pemilu 2009, marak dibicarakan tema audit dana kampanye baik dana kampanye partai politik, dana kampanye capres, dana kampanye calon anggota DPD dan dana kampanye calon gubernur maupun walikota/bupati. Ketika kita memperbincangkan masalah ini, kita mesti ngat satu hal bahwa dana kampanye yang bisa diaudit adalah dana kampanye yang dilaporkan. Sedangkan dana kampanye yang digunakan secara langsung misalnya mencetak atribut, memberikan premium untuk mobilitas tim sukses dan lain-lain sulit untuk dideteksi. Itulah kenapa audit dana kampanye biasanya berbentuk audit agreed upon procedure.

Jika demikian kondisinya maka hasil audit pun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Pertanyaan berikutnya mungkinkah audit bisa ditingkatkan kualitasnya atau dirubah menjadi audit jenis lain yang bisa memberikan gambaran lebih konkret?

Tender Audit ITB

Hari ini di Harian Kompas ada pengumuman tender audit ITB. Bagi yang berminat silahkan datang ke ITB untuk mengambil dokumen prakualifikasi.

Anda juga bisa mengunjungi alamat sebagai berikut : http://logistik.itb.ac.id/?c=umuman

Terima kasih

Thursday, December 4, 2008

1st Sales And Marketing Expo 2008

Bagi Anda yang tertarik mengikuti 1st Sales And Marketing Expo 2008, 2 hari dengan menghadirkan banyak praktisi. Biaya 2 hari sebesar Rp 1.5 juta. Lebih lengkapnya silahkan unduh di sini http://www.intipesan.co.id/+e0081217-salesexpo2008.html?0,

Terima kasih

Wednesday, November 19, 2008

Tender Audit Yayasan PEKKA

Undangan untuk Memasukkan Pernyataan Berminat
“Poverty Reduction and Women’s Leadership – The PRIME “
JASA KONSULTAN (AUDIT LAPORAN KEUANGAN)
TF No. 091171-IND

Undangan untuk memasukkan peryataan berminat mengikuti seleksi Konsultan untuk Audit Laporan Keuangan (General Audit) Yayasan PEKKA

1. PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) adalah salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bekerja untuk perempuan miskin yang karena berbagai alas an berperan sebagai kepala keluarga dan bertanggung jawab mencari nafkah bagi keluarganya. PEKKA menerima dana dari Japan Social Development Fund (JSDF) melalui The World Bank untuk membiayai Program “Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga di Wilayah Konflik” dan bermaksud menggunakan sebagian dari dana ini untuk membiayai Paket Jasa Audit Laporan Keuangan Yayasan PEKKA dengan metode LCS (Least Cost Selection).

2. Bersama surat ini Kami mengundang Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk memasukkan pernyataan berminat dalam memberikan Jasa Audit Laporan Keuangan. KAP yang berminat harus memberikan informasi yang mendukung bahwa KAP yang bersangkutan memenuhi syarat untuk memberikan jasa tersebut, misalnya Company Profile (yang mencakup : jumlah staf, turnover, pengalaman audit, dan informasi penting lainnya). Penjelasan secara rinci tentang output dan skope kerja dapat dilihat dalam TOR terlampir.

3. KAP akan diseleksi berdasarkan prosedur dari Pedoman Bank Dunia (Guidelines : Selection and Employment of Consultants World Bank Borrowers) edisi Mei 2004.

4. KAP yang berminat dapat menghubungi alamat di bawah ini untuk informasi lebih lanjut :

PEKKA, Duren Sawit Asri, Jl. Lapangan 1 No. 2A, Rawa Domba, Duren Sawit, Jakarta Timur. Telp : 021-8609325 F ax : 021-86603787
Website : www.pekka.or.id Email : pekka@cbn.net.id
Contact person : Paula Elina (Elin) – Email : elina@cbn.net.id

5. Surat pernyataan berminat disampaikan ke alamat tersebut di atas paling lambat tanggal 2 Desember 2008.

Jakarta, 19 November 2008



Zulminarni
Koordinator Nasional PEKKA


Catatan : yang berminat juga bisa menghubungi admin untuk mendapatkan TOR nya.

Thursday, November 13, 2008

Tender Jasa Audit PT Askes

PT. Askes (Persero) akan mengadakan lelang ulang untuk pengadaan pekerjaan jasa audit atas laporan keuangan konsolidasi PT Askes (Persero) dan Anak Perusahaan untuk tahun buku yang berakhir tanggal 31 Desember 2008. Pendaftaran dibuka tanggal 10 Nov s.d 17 NOv. 2008. jam 9.00 s.d 15.00 (hari dan jam kerja)

Syarat2 administrasi dapat dilihat di papan pengumuman di PT Askes (Persero) Pusat dan di website http://portal.bumn.go.id/askes

Tuesday, November 11, 2008

Lowongan Kerja Accounting Staff

Beberapa perusahaan memerlukan accounting staff.
Kualifikasi yang diperlukan:
1. Lulusan Minimal D3 Akuntansi
2. Berpengalaman lebih diutamakan
3. Pria/Wanita
4. Bisa mengoperasikan software akuntansi

Bagi Anda yang berminat silahkan kirimkan lamaran dan CV ke alamat email : supriyanta@gmail.com

Wednesday, November 5, 2008

Kiat Merekrut Staf Akuntansi

Berbagai cara ditempuh Perusahaan untuk mendapatkan staf akuntansi sesuai kualifikasi yang dibutuhkan. Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan.

Beberapa cara yang lazim ditempuh adalah:
1. Mendasarkan referensi seseorang.
2. Mengiklankan di media cetak seperti Republika, Media Indonesia, kompas, Tempo dan Majalah Akuntansi.
3. Mengiklankan di media internet seperti karir.com, jobdb.com, dan jobstreet.com
4. Mengiklankan di website Perusahaan
5. Mengiklankan di Blog

Cara yang pertama termasuk cara yang paling efektif untuk mendapatkan kualifikasi yang diperlukan. Jaminan atas keberlangsungan staf untuk bekerja di Perusahaan juga lebih besar. Biaya pun relatif murah.

Sedangkan cara yang kedua termasuk cara sudah mulai ditinggalkan oleh Perusahaan karena rentang ditayangkannya iklan dan masuknya lamaran relatif lama. Biaya iklan di media cetak juga relatif mahal.

Cara yang ketiga termasuk cara yang murah. Namun memiliki kelemahan bahwa pelamar kadang-kadang kurang serius dengan aplikasi yang dikirimkan.

Cara yang keempat biaya yang dikeluarkan sangat murah namun sangat tergantung pada pengunjung website Perusahaan. Hal ini mengingat banyak Perusahaan yang kurang update websitenya. Tampilan pun kurang menarik karena memang tidak mudah mengembangkan sebuah website yang menarik bagi pengunjung.

Cara yang kelima adalah merupakan gabungan cara pertama dan beriklan diinternet. Blog yang sedang Anda kunjungi ini juga memberikan fasilitas ini. Banyak pelamar yang telah mengirimkan aplikasinya kepada admin dan beberapa dari mereka telah bekerja di tempat yang membutuhkan. Cara ini relatif murah dan cukup membantu Perusahaan yang sedang membutuhkan tenaga akuntansi atau sejenisnya. Silahkan kirimkan email kepada admin bagi Perusahaan yang sedang mencari tenaga akuntan begitu pula Anda pencari kerja, silahkan kirimkan CV Anda kepada Admin agar Admin bisa menyalurkan Anda sesuai harapan dan cita-cita Anda. Kerahasiaan CV Anda menjadi tanggung jawab kami karena kami akan memberikan CV Anda sesuai permintaan user dengan kualifikasi yang sesuai. Admih mohon maaf kepada pembaca setia Blog yang sudah mengirimkan CV namun belum bisa kami salurkan sesuai harapan Anda. Email admin adalah supriyanta@gmail.com.

Salam sukses dan selamat mencoba.

Friday, October 24, 2008

In House Training

Perusahaan yang ingin berkembang hendaknya memandang SDM sebagai aset Perusahaan meskipun tidak membukukan sebagai aktiva dalam neracanya. SDM yang handal akan berpesan besar dalam membesarkan Perusahaan. Bahkan kadang-kadang peran yang diberikan jauh lebih besar dibanding aktiva tetap yang dimiliki Perusahaan.

Salah satu cara untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi SDM adalah dengan memberikan training secara berkala. Training bisa dilakukan secara in house maupun diikutkan dengan training yang ditawarkan berbagai EO yang menyeleneggarakan berbagai paket training sesuai kebutuhan Perusahaan.

Monday, October 20, 2008

PROFESIONALISME, PENGETAHUAN AKUNTAN PUBLIK DALAM MENDETEKSI KEKELIRUAN, ETIKA PROFESI DAN PERTIMBANGAN TINGKAT MATERIALITAS

Makalah yang ditulis oleh Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto dan disajikan dalam acara "The 2nd National Conference UKWMS" di Surabaya tanggal 6 September 2008 dapat Anda download di alamat

http://lpks1.wima.ac.id/pphks/accurate/makalah/AKT14.pdf

Tuesday, October 14, 2008

Lowongan Kerja

Saat ini sebuah kantor akuntan publik di Jakarta sedang membutuhkan auditor dengan kualifikasi:
1. Lulusan S1 Akuntansi
2. Bahasa Inggris (pasif)
3. Computer (Ms. Word dan Ms. Excel)

Yang berminat silahkan kirimkan CV ke alamat supriyanta@gmail.com

Terima kasih

Administrator Website

Tuesday, September 23, 2008

Audit Bazda, Pemprov Sumut Cari Akuntan Publik

Senin, 22 September 2008 | 18:22 WIB

MEDAN, SENIN - Bila Badan Amil Zakat Daerah masih enggan diaudit oleh akuntan publik, sebaliknya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara saat ini justru tengah bersiap mencari kantor akuntan publik yang mengaudit pengelolaan zakat di lembaga tersebut. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berkepentingan terhadap transparansi pengelolaan zakat di Bazda, karena menjadi bentuk pertanggung jawaban langsung terhadap masyarakat Sumut selaku muzaki atau pemberi zakat.

Menurut Asisten Bina Hukum dan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi Sumut, Rahudman Harahap mengungkapkan, sesuai perintah Gubernur Sumut agar pengelolaan zakat di Bazda bisa setransparan mungkin , dalam waktu dekat dia akan mencari kantor akuntan publik. "Teknisnya nanti bisa dalam bentuk kami menenderkan audit pengelolaan zakat di Bazda. Kantor akuntan publik yang menang dalam tender tersebut bisa segera melakukan audit terhadap Bazda," ujar Rahudman di Medan, Senin (22/9).

Sebelumnya, Ketua Harian Bazda Sumut, Maratua Simanjuntak mengatakan, selama ini Bazda Sumut memang belum pernah diaudit kantor akuntan publik. Akan tetapi, lanjut Maratua, setiap tahun Bazda melaporkan pengelolaan zakat tersebut ke Inspektorat Wilayah Sumut dan DPRD Sumut. Bazda juga mengeluarkan informasi tahunan ke muzaki dan menerbitkan bulletin mingguan, berisi pengelolaan zakat yang mereka terima.

Rahudman mengatakan, pada prinsipnya Pemprov Sumut ingin mendorong pengelolaan zakat di Bazda setransparan mungkin dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebab selama ini, meski laporan pengelolaan diserahkan ke Inspektorat setiap tahun, namun masyarakat sebagai pemberi zakat tak punya akses terhadap laporan tersebut.

"Memang kalau mau transparan ya harus diaudit akuntan publik. Masyarakat juga bisa melihat langsung pengelolaan zakat di Bazda. Makanya begitu Gubernur meminta agar Bazda diharapkan bisa diaudit akuntan publik, kami sebagai bawahan langsung menindaklanjutinya," katanya.

Dalam waktu dekat, menurut Rahudman, pengelola Bazda Sumut akan dipanggil Pemprov Sumut. "Kami akan panggil Bazda untuk memberi penjelasan langsung soal prosedur dan administrasi pengelolaan zakat. Sehingga nantinya Pemprov Sumut pun yakin ada transparansinya. Kami menginginkan pengelolaan zakat ini bisa yang terbaik agar masyarakat percaya dan mau memberi zakatnya di Bazda," katanya.

Menurut Rahudman pengelolaan zakat yang tak transparan selama ini bisa membuat masyarakat menjadi ragu-ragu menyalurkan zakatnya ke Bazda. Padahal Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut sudah menjadi ikon iklan kampanye agar masyarakat berzakat melalui Bazda. "Bagaimana kami bisa mendorong masyarakat berzakat melalui Bazda kalau pengelolaannya belum transparan. Pemprov Sumut kan juga berharap, Bazda ke depan bisa semakin besar," katanya.

Maratua menambahkan, hingga akhir pekan lalu terdapat sebanyak 284 muzaki yang menyalurkan zakatnya melalui Bazda Sumut. Dari jumlah tersebut terkumpul uang sebanyak Rp 1,6 miliar.

Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/22/18220720/audit.bazda.pemprov.sumut.cari.akuntan.publik

Wednesday, September 3, 2008

Biaya Audit Rp 1 Triliun

Biaya Audit Rp 1 Triliun

14 agustus 2008

KPU Perkirakan Dananya Tidak Besar

Ikatan Akuntan Indonesia dan Institut Akuntan Publik Indonesia memperkirakan perlu dana Rp 1 triliun untuk mengaudit sekitar 18.000 laporan dana kampanye. Biaya audit ini hanya bisa dikurangi jika jumlah laporan keuangan kampanye dari partai politik dan perseorangan yang harus diaudit juga dikurangi.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo di Jakarta, Selasa (12/8). Bagian paling besar dari 18.000 laporan dana kampanye itu bersumber dari laporan 34 parpol di tingkat pusat, 33 provinsi, dan 471 kabupaten/kota. Bagian lain berasal dari laporan dana kampanye enam partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam di tingkat provinsi dan 23 kabupaten/kota. Sisanya, dana kampanye dari perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah di 33 provinsi dengan asumsi setiap provinsi memiliki 30 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Ongkos audit untuk setiap laporan dana kampanye diperkirakan Rp 60 juta. Dengan tarif auditor sekitar Rp 250.000 per jam dan waktu kerja 30 hari, total ongkos audit dana kampanye mencapai Rp 1 triliun.
"Kerja auditor berdasar jumlah laporan keuangan yang harus diaudit. Jika jumlah laporan dikurangi, biaya audit juga dapat ditekan," kata Tarkosunaryo. Namun, pengurangan jumlah laporan dana kampanye yang harus diaudit ini sulit dilakukan.

Jumlah akuntan publik di Indonesia hanya 689 orang, 84 persen di antaranya di Jawa. Pemaksaan akuntan publik yang terbatas untuk mengaudit dana kampanye akan memancing munculnya audit asal-asalan atau akuntan publik palsu.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan IAPI berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera mengeluarkan aturan tentang teknis pengauditan dana kampanye untuk menekan biaya.

Secara terpisah, anggota KPU, Abdul Aziz, memperkirakan biaya audit dana kampanye pemilu legislatif 2009 tak akan mencapai Rp 1 triliun. Namun, dia belum memerinci upaya yang dilakukan untuk menekan biaya audit. Biaya audit baru akan diajukan dalam Rancangan APBN 2009.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh mengatakan, taksiran biaya audit IAI-IAPI murni dilakukan berdasarkan pertimbangan bisnis. Biaya Rp 1 triliun ini dapat ditekan jika ada aturan yang jelas dari KPU tentang pedoman pelaporan dana kampanye dan tata cara audit dana kampanye.

Biaya audit dana kampanye itu belum memperhitungkan tingkat kerumitan dan jumlah laporan yang harus diaudit. Selama KPU belum membuat standar pelaporan dana kampanye, tingkat kesulitan audit belum dapat ditentukan. (mzw)


Sumber : http://www.akuntanpublikindonesia.com/iapi/artikel/nasional/biaya_audit_rp_1_triliun.php

Friday, August 8, 2008

Peraturan Baru Tentang Independensi

Bapepam telah menerbitkan peraturan terbaru terkait independensi yaitu peraturan nomor VIII.A2 per 1 Agustus 2008. Peraturan ini menggantikan peraturan nomor VIIIA2 yang lama.

Untuk mendownloadnya silahkan kunjungi website berikut : http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/siaran_pers_pm/2008/pdf/VIII.A.2_independensi_akuntan.pdf

Supriyanta

Wednesday, August 6, 2008

KPU DAN IKATAN AKUNTAN INDONESIA AKAN MENYUSUN JUKNIS LAPORAN DANA KAMPANYE

Kamis, 31 Juli 2008

Jakarta, kpu.go.id. Komisi Pemilihan Umum (KPU) terima kunjungan pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Kamis 31 Juli 2008, di Ruang Rapat Lantai I KPU, Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat. Tujuan kunjungan tersebut adalah dalam rangka menyusun MoU antara KPU dan IAI, terkait dengan audit laporan dana kampanye Parpol peserta Pemilu 2009.

KPU diwakili oleh Ketua KPU Hafiz Anshary AZ, Anggota KPU Abdul Aziz, Andi Nurpati, Endang Sulastri dan Sri Nuryanti, didampingi oleh pejabat Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU. Sedangkan IAI dipimpin oleh Ketua Kompartmen Akuntan Publik Indonesia I Nyoman Sardiana didampingi oleh Dwi Setiawan .

Dalam kesempatan tersebut Ketua KPU mengemukakan bahwa penyusunan laporan dana kampanye Parpol peserta Pemilu, didasarkan atas pasal 129 (ayat 2) yang berbunyi “dana kampanye bersumber dari Parpol, calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan sumbangan sah menurut hukum dari pihak. Pasal 136 UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, “KPU menetapkan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi. Dalam menetapkan kantor akuntan publik di setiap provinsi, KPU bekerjasama dengan dan memperhatikan masukan dari IAI”.

Ditambahkan oleh Ketua KPU laporan dana kampanye Parpol peserta Pemilu 2009 untuk melengkapi Peraturan KPU No 19 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu yang sudah beredar sebelumnya.

Direncakanan MoU akan ditandatangani Senin tanggal 4 Agustus 2008, setelah rampungnya Juknis laporan dana kampanye parpol peserta Pemilu. Hari Selasa(5/8) KPU akan mensosialisasikan Juknis laporan dana kampanye kepada parpol peserta Pemilu.(FS/Wie/Redaktur)

Sumber : http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5983&Itemid=1

ICW: KPU HARUS SEGERA KERJA SAMA DENGAN AKUNTAN

Anggota Badan Pekerja ICW Adnan Topan Santoso

Rabu, 30 Juli 2008 14:45 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera berkoordinasi dengan lembaga akuntan publik agar audit terhadap dana kampanye partai politik (parpol) peserta pemilu transparan dan akuntabel serta meminimalisir tindak kriminal. Desakan tersebut disampaikan anggota Badan Pekerja ICW Adnan Topan Santoso di Jakarta, Rabu (30/7).

ICW menyoroti ketimpangan jumlah rekening dana kampanye parpol peserta pemilu, yakni 18 ribu lebih rekening dengan jumlah kantor akuntan publik yang hanya sekitar 800. Terlebih, sebagian besar kantor akuntan publik berada di Jakarta, sehingga menyulitkan proses audit parpol di level bawah.

Menurut Adnan, KPU harus mewaspadai kemungkinan munculnya rekening liar yang dapat digunakan oleh parpol untuk menampung dana kampanye mereka yang ilegal atau bahkan digunakan untuk praktik pencucian uang. Adnan mengungkapkan, KPU harus mulai membenahi aturan tentang dana kampanye jika tidak ingin kecolongan. Misalnya dengan memperketat pengawasan terhadap identitas penyumbang serta mengharuskan parpol menseragamkan rekening bank yang mereka gunakan.(DOR)

Sumber : http://www.metrotvnews.com/new/berita.asp?id=63552

Thursday, July 24, 2008

Akuntan Publik Boleh Audit Laporan Keuangan Daerah

Rabu, 23 Juli 2008 | 19:12 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Kantor Akuntan Publik (KAP) diperbolehkan melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, mengatakan Undang-Undang 15/2006 tentang BPK memperbolehkan pihak luar atau outsourching melakukan audit.

"Ini negara bukan komunis yang semuanya harus (oleh) negara. Kasihlah pekerjaan kepada rakyat sendiri, bagi para akuntan kita," kata Anwar di Jakarta Rabu (23/07). KAP yang akan mengaudit LKPD harus membuka kantor di daerah. KAP juga harus memenuhi standard dan memperoleh sertifikat dari BPK sebelum melakukan audit.

Anwar menyebutkan regulasi itu akan dimulai pada 2009 dan dalam waktu dekat BPK akan mengeluarlan surat keputusan mengenai hal itu. Upaya ini ditempuh karena BPK tak sanggup mengaudit seluruh entitas keuangan negara yang tersebar di seluruh daerah. Untuk itu, BPK perlu melibatkan KAP untuk mengoptimalkan pemeriksaan LKPD.

Gunanto E. S
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/07/23/brk,20080723-128877,id.html

Wednesday, July 23, 2008

LAPORAN KEUANGAN DAERAH AKAN DIPERIKSA KAP

Rabu, 23 Juli 2008 12:40 WIB


JAKARTA--MI: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan membuka peluang bagi kantor akuntan publik (KAP) untuk memeriksa laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).

"Dengan banyaknya entitas yang diperiksa, tidak mungkin BPK memeriksa semua entitas," kata Ketua BPK Anwar Nasution di sela konferensi sektor publik di Jakarta, Rabu (23/7).

Menurut Anwar, saat ini pihaknya tengah menyiapkan Surat Keputusan BPK yang memungkinkan pemeriksaan LKPD oleh KAP. "Saya tak keberatan KAP melakukan pemeriksaan LKPD terutama untuk LKPD tingkat kabupaten/kotamadya," kata Anwar.

Peluang masuknya KAP memeriksa LKPD, katanya, dimungkinkan berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang BPK dan pihak BPK mencatat paling tidak terdapat 480 entitas LKPD, termasuk di dalamnya laporan keuangan BUMD.

Sementara itu, Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Ahmadi Hadibroto mengatakan BPK memang akan membuat aturan yang memungkinkan KAP memeriksa LKPD. "Ini bukan berarti penyerahan tapi KAP bisa ikut memeriksa LKPD. Mudah-mudahan peluang ini bisa mendorong munculnya akuntan baru termasuk di daerah dalam kondisi saat ini yang 80 persen KAP berada di Jakarta," katanya.

Sumber : http://mediaindonesia.com/

Tuesday, July 1, 2008

RUU Pemilihan Presiden

Dana Asing Kampanye Capres Masih Kontroversi

10 Juni 2008 - 13:12 WIB

Hervin Saputra
VHRmedia, Jakarta - Pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden soal penggunaan sumber dana asing bagi kampanye pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden masih alot. Dalam pembahasan itu akan dibicarakan soal sanksi dan mekanisme audit dana kampanye bantuan asing.

Dalam rapat Pansus dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin, anggota Pansus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Al Muzzamil Yusuf mengatakan, sanksi atas penerimaan bantuan dana asing dalam Pasal 22 RUU Pilpres sangat ringan. "Itu tidak baik bagi capres, karena bisa mengganggu kedaulatan negara." Dia meminta sanksi atas pelanggaran tersebut dipertegas.

Anggota Pansus dari Fraksi Partai Amanat Nasional Andi Yuliani Paris menyatakan penerimaan sumber dana asing sama dengan menjual kedaulatan. Dia meminta Pansus menyoroti mekanisme audit sumber dana asing. Audit itu akan menjadi dasar pemberian sanksi terhadap capres yang melanggar. "Baru bisa ditentukan apakah capres bisa dibatalkan," katanya.

Selain soal sumber dana asing, anggota Pansus dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono mengatakan, RUU Pilpres hendaknya menerapkan jumlah pemberian bantuan perusahaan untuk dana kampanye capres senilai Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar per perusahaan. Angka itu berbeda dari yang diajukan pemerintah, yakni Rp1 miliar hingga Rp 5 miliar.

Ignatius berpendapat, jumlah itu sesuai dengan tingginya biaya penyelenggaraan kampanye saat ini. "(Partai) Demokrat kan termasuk yang belum bermodal besar," ujarnya. Partai Demokrat mengusulkan dana bantuan dari perseorangan Rp 5 juta hingga Rp 10 juta.

Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golongan Karya mengatakan, jumlah yang diusulkan itu terlalu tinggi dengan keadaan ekonomi sekarang. "Perusahaan menyumbang Rp 5 miliar saja sudah berat. Kalau Rp 10 miliar, akan ada beban psikologis (bagi capres dan penyumbang)."

Ferry juga mempersoalkan pengajuan syarat memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi penyumbang seperti diusulkan anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saefuddin. Sebab, tidak semua warga negara yang berkemampuan menyumbang memiliki NPWP.

Lukman Hakim mengatakan yang terpenting hasil audit dana kampanye harus disiarkan di sebuah media cetak dan dua media elektronik. Dia juga meminta pemilihan akuntan publik yang bertugas mengaudit diurus oleh Komisi Pemilihan Umum.

Mendagri Mardiyanto yang mewakili pemerintah mengatakan pemilihan akuntan publik yang kredibel dan independen akan diserahkan kepada Lembaga Akuntan Indonesia. "Itu kita serahkan kepada lembaga (akuntan publik), kita tidak bisa mencampurinya."

Selain soal audit dan bantuan dana kampanye, Pansus juga akan membahas batas waktu pelaporan bantuan dana kampanye. Pemerintah mengusulkan setiap capres wajib melaporkan dana kampanye sehari setelah masa kampanye berakhir.

Panitia Khusus akan kembali membahas draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden di Panitia Kerja pada Kamis (12/6). (E5)

Sumber : http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Dana-Asing-Kampanye-Capres-Masih-Kontroversi-1852.html

KPU Siapkan Kantor Akuntan Publik Audit Dana Kampanye

Kamis, 19 Juni 2008 | 18:56 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Komisi Pemilihan Umum menyiapkan kantor akuntan publik (KAP) untuk mengaudit dana kampanye partai politik peserta Pemilu 2009. Anggota KPU yang membidangi Divisi Perencanaan, Logistik, dan Keuangan, Abdul Aziz, mengatakan bahwa KPU sudah memiliki daftar KAP yang akan mengaudit dana kampanye partai. ”KAP ini tersebar hingga tingkat provinsi,” kata Aziz di kantornya, Jakarta, Kamis (19/6).

KAP yang ditunjuk, kata Aziz, akan bekerja dengan anggaran KPU. KPU juga akan mengadakan tender untuk KAP yang mengaudit dana kampanye. ”Tak harus KAP besar. KAP lokal pun bisa kami pergunakan untuk mengaudit rekening partai,” katanya.

KPU akan mengatur rekening dan dana kampanye partai dalam satu peraturan. Partai harus menyerahkan rekening dan dana kampanye paling lambat tujuh hari sebelum kampanye rapat umum atau 28 hari sebelum masa tenang. Tapi, pencatatan pemasukan dan pengeluaran kampanye harus dilakukan saat kampanye rapat terbatas dimulai atau pada 8 Juli 2008.

Aziz menegaskan, keikutsertaan partai dalam Pemilu 2009 bisa dicoret jika partai tak menyerahkan pembukuan. Partai juga akan dicoret jika pembukuan yang diserahkan tak lengkap. Misalnya, partai tak memberitahu jika menerima sumbangan lebih dari Rp 1 miliar dari perorangan dan Rp 5 miliar dari perusahaan. ”Semua barang yang dibeli juga harus dicantumkan sesuai kurs saat pembelian,” katanya. Sedangkan KAP harus memberikan laporan paling lambat satu bulan sesudah partai menyerahkan laporan keuangan.

Peraturan kampanye, kata Aziz, juga membolehkan partai menggelar rapat umum pada masa kampanye rapat terbatas. Tapi, rapat umum itu hanya boleh digelar dalam peringatan ulang tahun partai. Pelaksanaannya pun harus serentak di semua daerah. ”Peringatan hari ulang tahun tak boleh dilakukan lebih dari satu hari,” katanya.

Menurut Aziz, partai juga tak boleh menggunakan fasilitas umum dan fasilitas negara saat kampanye rapat terbatas. Kecuali jika fasilitas milik negara memang disewakan untuk umum. Soal alat peraga kampanye, kata Aziz, pengaturannya disesuaikan dengan daerah masing-masing. ”Setiap daerah punya aturan yang berbeda soal pemasangan atribut partai,” katanya.

Selain itu, peraturan KPU juga akan membatasi calon legislatif yang akan berkampanye. Calon, kata Aziz, hanya boleh berkampanye di daerah pemilihannya. Kecuali, calon legislatif itu menjadi juru bicara provinsi atau nasional. Daftar anggota tim sukses partai pun harus dilaporkan ke KPU supaya terlihat siapa saja yang bisa berkampanye di luar daerah pemilihan.

Pramono

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/06/19/brk,20080619-126030,id.html

Tuesday, June 3, 2008

BPK Serahkan LKTBI Tahun 2007

Badan Pemeriksa Keuangan menyerahkan Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan paragraf penjelasan.

Lebih detil mengenai berita ini silahkan kunjungi website BPK dengan alamat : http://bpk.go.id/pengumuman/siaran-pers-LKTBI-2007.pdf

BPK Tidak Audit BLT 2008 Secara Khusus

Jumat, 09 Mei 2008

Jakarta ( Berita ) : Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution mengindikasikan pihaknya belum akan mengaudit pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2008 nanti secara khusus karena keterbatasan sumber daya manusia “Kita mengarah ke situ, tetapi tenaga kita terbatas,” kata Ketua BPK, Anwar Nasution di Jakarta, Kamis [08/05].

Dia mengatakan, hal yang sama sebenarnya terjadi pada pelaksanaan penyaluran BLT 2005-2006 karena alasan yang sama. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2006, BPK mengungkapkan bahwa laporan tentang alokasi anggaran untuk BLT dicantumkan, namun tidak ada pemeriksaan tertentu untuk melihat efektifitas dan realisasi penyaluran ke masyarakat miskin.

“Dulu yang kita lakukan audit lanjutan hanya realisasi penyaluran subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi BOS, dan subsidi pupuk. Tapi kalau BLT, tidak,” katanya.

Meskipun tidak melakukan audit lanjutan, katanya, pihaknya telah meminta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI dan LSM Smeru untuk melihat bagaimana penyaluran BLT dilakukan pada saat itu.

Namun, katanya mengakui, memang saat itu tidak ada kewajiban bagi kedua lembaga non pemerintah itu menyampaikan hasil kajian mereka kepada BPK.

Dijelaskannya, pengawasan penyaluran BLT itu seharusnya menjadi kewenangan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan hasil pengawasan itulah yang diserahkan kepada BPK untuk diaudit.

“Kalau Bawasda (Badan Pengawas Daerah-red) kabupaten/kota jalan, Bawasda provinsi jalan, BPK juga jalan melakukan pengawasan. Kerja kita tidak sulit,” katanya. ( ant )

Sumber : http://www.akuntanpublikindonesia.com/iapi/artikel/hukum_&_pajak/bpk_tidak_audit_blt_2008_secara_khusus.php

Tuesday, May 13, 2008

Pemakaian Gelar CPA

Akuntan yang telah berhasil menyelesaikan Ujian Setifikasi Akuntan Publik (USAP) berhak mendapatkan gelar BAP (Bersertifikat Akuntan Publik). Misalnya seseorang yang bernama Kalender yang telah menyelesaikan USAP akan menulis namanya Kalender, SE, Ak., BAP. Namun mulai 28 Nopember 2007, ada perubahan sehingga lulusan USAP bisa menggunakan gelar CPA sehingga untuk contoh ini akan menulis namanya secara lengkap sebagai Kalender, SE, Ak., CPA.

Dasar penggunaan nama ini adalah Surat Keputusan Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia Nomor KEP-27/SK/DPN/IAI/XI/2007 tanggal 28 Nopember 2007. Informasi mengenai hal ini bisa dibuka di website dengan alamat http://iaiglobal.or.id/id/pdf/sk_gelar_cpa_indonesia.pdf

Jadi bagi Anda yang telah lulus USAP, silahkan gunakan gelar CPA di belakang nama Anda. Bagi yang belum lulus, tentu saja USAP masih dibuka sehingga Anda pun akan berhak menyandang gelar CPA.

Bagaimana dengan Akuntan Publik yang belum lulus USAP? Apakah berhak menyandang gelar CPA? Kita tunggu perkembangannya karena sampai dengan saat ini peraturan belum membolehkan penggunaan gelar tersebut. (Supriyanta)

Friday, May 9, 2008

TRAINING RISK BASED AUDIT PLANNING

Sabtu, 17 Mei 2008, Pukul 09.00 - 17.00 (Registrasi Pk. 08.30 - 09.00)
HOTEL ACACIA – JAKARTA

PEMBICARA : LUDOVICUS SENSI WONDABIO - Ketua Penegak Disiplin IAPI

INFORMASI PENDAFTARAN :

Contact Persons :
Afrizal / Milah / Reini
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
Jl. Tendean No.1, Jakarta Selatan
Telpon : 021 – 252 5181 , 252 5367, 7072 1651 – 53
Fax : (021) 021 252 5175, 252 5177
E-mail : info@iapi.or.id
Pendaftaran SMS ketik :
spasi spasi < IAPI/Non IAPI> spasi <17Mei>
Kirim ke :

Afrizal : 0813 1067 6560
Reini : 0816 1687 600
Milah : 0817 6915 976
Dini : 0813 1146 8681
INVESTASI :
Rp. 800.000,- / Anggota IAPI
Rp. 700.000,- / Anggota IAPI luar Jabodetabek
Rp. 1.000.000,- / Non Anggota IAPI
(termasuk materi pelatihan, coffee break & lunch, sertifikat)

Transfer ke rekening IAPI :
Bank Mandiri
Cab. Wisma Metropolitan
No. Rekening. 122-009-901-6951
a.n. Institut Akuntan Publik Indonesia – Pendidikan
(Bukti Transfer mohon di fax ke :(021) 2525 175 / 2525 177 atau dibawa saat acara)

Sumber : http://www.akuntanpublikindonesia.com/iapi/artikel/info_ppl_dan_seminar/risk_based_audit_planning...php

Thursday, May 8, 2008

“The Forum of Firm” di Indonesia


The forum of firms (FOF) secara formal berdiri pada tahun 2002. FOF merupakan asosiasi dari kantor akuntan publik (KAP) yang memiliki jaringan international. KAP yang tergabung dalam FOF melakukan general audit atas laporan keuangan yang diantaranya laporan keuangan yang memiliki cakupan lintas negara.

Pada bulan Januari 2008 International Federation of Accountants (IFAC) mengumumkan 21 KAP sebagai member FOF yang terdiri dari 17 full member dan 4 provisional member. Berikut ini adalah rincian 21 KAP tersebut dan member atau asosiasinya di Indonesia:

No. International Network, Member in Indonesia

1. Baker Tilly International, KAP. Drs. Johan, Malonda, Mustika & Rekan
2. BDO International, KAP. Tanubrata Sutanto Fahmi & Rekan
3. Constantin Associates, Tidak Ada Informasi
4. Deloitte Touche Tohmatsu, KAP. Osman Bing Satrio & Rekan
5. Ernst & Young Global Limited, KAP. Purwantono, Suherman & Surja
6. Grant Thornton International, KAP. Hendrawinata Gani & Hidayat
7. HLB International, KAP. Hadori Sugiarti Adi & Rekan
8. Horwath International Association, KAP. Kosasih, Nurdiyaman, Tjahyo & Rekan
9. INPACT Audit, KAP. Drs. Tasnim Ali Widjanarko & Rekan
10. KPMG International, KAP. Siddharta siddharta & Widjaja
11. Mazars, KAP. Tjiendradjaja & Handoko tomo
12. PKF International, KAP. Paul Hadiwinata, Hidajat, Arsono & Rekan
13. PricewaterhouseCoopers International, KAP. Tanudiredja Wibisana & Rekan
14. RSM International Limited, KAP. Aryanto Amir Jusuf & Mawar
15. Russell Bedford International, KAP. Syarief Basir & Rekan
16. Talal Abu-Ghazaleh International, Tidak Ada Informasi
17. UHY International, KAP. Drs. Hananta Budianto & Rekan

18. IEC, KAP Sugijadi, Kurdi & Riyono
19. JHI, KAP. Salaki & Salaki
20. Moore Stephens International, KAP. Drs. Mulyamin Sensi Suryanto
21. Polaris International, KAP Hertanto Sidik & Rekan

Catatan :
1. Nomor urut adalah berdasarkan abjad dari international networks
2. Nomor urut 1 sampai dengan 17 merupakan full member dari FOF dan nomor 18 sampai dengan 21 merupakan provisional member dari FOF.

Dengan kondisi di atas maka ada beberapa anggota FOF yang belum memiliki member di Indonesia yaitu Constantin Associates, Talal Abu-Ghazaleh International, IEC dan Polaris International. Namun tidak menutup kemungkinan saat ini sudah memiliki member di Indonesia mengingat perkembangan keanggotaan international networks selalu berubah dari waktu ke waktu. Sebut saja UHY International sebelumnya memiliki member di Indonesia yaitu KAP Kanaka Puradiredja & Rekan namun saat ini member di Indonesia adalah KAP. Drs. Hananta Budianto & Rekan.

Diolah dari berbagai sumber oleh Supriyanta

Tuesday, May 6, 2008

UKM PERLU STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH

Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) berencana menyusun standar akuntansi keuangan syariah untuk usaha kecil menengah, untuk membuka akses yang lebih besar sektor riil terhadap pembiayaan bank. Anggota DSAK-IAI Jan Hoesada mengungkapkan perbankan syariah Indonesia termasuk industri yang paling maju di tingkat global karena memiliki tujuh standar akuntansi syariah. "Tapi ini baru di sisi kanan, sementara di sisi kiri yakni sektor usaha kecil menengah belum memiliki standar akuntansi keuangan syariah. Ini tidak ketemu," ujar Jan, baru-baru ini.

Jan Hoesada, yang juga mantan Sekretaris I IAI periode 1994-1998, mengusulkan pembuatan paket syariah berupa penyediaan software akuntansi keuangan, pelatihan dan pinjaman bank hingga Rp500 juta.

DSAK-IAI akan membuat peranti lunak akuntansi syariah untuk diterapkan oleh usaha kecil calon debitor dan pelatihan dengan tarif Rp3 juta-Rp5 juta.

Mekanismenya dibuat sederhana, karena usaha kecil tidak harus membaca seluruh ketentuan standar itu. "Standar ini bisa dibagi gratis, cukup dengan down-loan. Pembiayaan dari pemerintah atau sponsor."

Jan menilai prospek pasar syariah cukup bagus, mengingat portofolio pembiayaan syariah baru 1,7% dibandingkan dengan pembiayaan dan kredit bank secara keseluruhan.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah pembiayaan perbankan syariah per Desember 2006 sebesar Rp20,44 triliun dan bertambah menjadi Rp23,68 per Juli 2007.

Pendampingan

Secara terpisah, Direktur Bank Syariah Mandiri Hana Wijaya mengungkapkan ketiadaan standar akuntansi syariah bagi UKM membuat penyaluran pembiayaan agak terhambat.

"Tapi kami menyiasatinya dengan pendampingan oleh EO [account officer, pendamping kredit]. Kami membantu dan mendorong mereka untuk melakukan pencatatan transaksi dan laporannya," ujarnya.

Hana berpendapat ketersediaan standar akuntansi keuangan syariah bagi UKM akan membantu perbankan dalam menyalurkan pembiayaannya.

Direktur Utama Bank Syariah Mandiri Yuslam Fauzi menyatakan manajemennya akan terus meningkatkan porsi pembiayaan UKM, meski dominasi pembiayaan korporasi sudah tergeser usaha kecil.

Pada akhir 2005, portofolio pembiayaan usaha kecil menengah BSM hanya 38%, sedangkan per September 2007 sudah mendekati angka 51%.

Menurut dia, pembiayaan skala kecil dan menengah maksimal Rp10 miliar, sedangkan pembiayaan yang lebih besar masuk kategori korporasi.

Menurut dia, BSM mempunyai target meningkatkan porsi pembiayaan di sektor mikro kecil naik menjadi 60%. Target pembiayaan BSM hingga akhir tahun ini mencapai Rp10,5 triliun.

Oleh Moh. Fatkhul Maskur

Bisnis Indonesia, 4 Oktober 2007


Sumber : http://www.sebi.ac.id/index.php?Itemid=46&id=274&option=com_content&task=view

Friday, May 2, 2008

Lowongan Kerja Sebagai Staf Marketing Kantor Akuntan Publik

Pembaca blog yang setia, ada peluang untuk menjadi staf marketing di sebuah kantor akuntan publik di Jakarta.

Syarat-syarat yang diperlukan:
1. Pendidikan minimal D3 semua jurusan (akuntansi dan marketing lebih diutamakan)
2. Menguasai jasa yang disediakan kantor akuntan publik
3. Lancar Berbahasa Inggris (lisan dan tulisan)
4. Umur antara 20 sampai dengan 30 tahun
5. Mahir computer minimal Ms. Word, Ms. Excel dan Ms. Power Point

Silahkan informasikan kepada teman, saudara dan kerabat yang tertarik dan memenuhi syarat-syarat tersebut.

Surat lamaran dan CV bisa dikirimkan ke email dengan alamat supriyanta@gmail.com

Terima kasih

Supriyanta

Tuesday, April 29, 2008

CERTIFIED PUBLIC ACCOUNTANT

Certified Public Accountant (CPA) is the statutory title of qualified accountants in the United States who have passed the Uniform Certified Public Accountant Examination and have met additional state education and experience requirements for certification as a CPA. In most U.S. states, only CPAs who are licensed are able to provide to the public attestation (including auditing) opinions on financial statements. The exceptions to this rule are Arizona, Kansas, North Carolina and Ohio, where although the "CPA" designation is restricted, the practice of auditing is not.

Many states have a lower tier of accountant qualification (below that of CPA), usually entitled "Public Accountant" (with designatory letters "PA"). However the majority of states have closed the designation "Public Accountant" to new entrants, with only about 10 states continuing to offer the designation. Many PAs belong to the National Society of (Public) Accountants.

Many states prohibit the use of the designations "Certified Public Accountant" or "Public Accountant" (or the abbreviations "CPA" or "PA") by a person who is not certified as a CPA or PA in that state.[1] As a result, in many circumstances, an out-of-state CPA is restricted from using the CPA designation or designatory letters until a license or certificate from that state is obtained.

Services Provided by CPAs

The primary function CPAs fulfill relates to assurance services, called public accounting. In assurance services, also known as financial audit services, CPAs attest to the reasonableness of disclosures, the freedom from material misstatement, and the adherence to the applicable generally accepted accounting principles (GAAP) in financial statements. CPAs can also be employed by corporations – termed 'the private sector' – in finance functions such as Chief Financial Officer (CFO) or finance manager, or as CEOs subject to their full business knowledge and practice. These CPAs do not provide services directly to the public.

Although some CPAs serve as business consultants, the consulting role is under scrutiny following the corporate climate in the aftermath of the Enron scandal. This has resulted in divestitures in the consulting divisions by many accounting firms. In audit engagements, CPAs are (and have always been) required by professional standards and Federal and State laws to maintain independence (both in fact and in appearance) from the entity for which they are conducting an attestation (audit and review) engagement. However, most individual CPAs who work as consultants do not work as auditors, or vice versa.

CPAs also have a niche within the income tax preparation industry. Most small to mid-sized firms have both a tax and an auditing department. Someone's CPA is one of that individual's most trusted experts. CPAs are scattered throughout the business world.

Whether providing services directly to the public or employed by corporations or associations, CPAs can operate in virtually any area of finance including:

• Assurance and Attest Services
• Financial Accounting
• Management Consulting and Performance Management
• Information Technology, especially as applied to accounting and auditing
• Corporate Finance(Merger & Acquisition, initial public offerings, share & debt issuings)
• Financial Planning
• Financial Analysis
• Venture Capital
• Forensic Accounting (preventing, detecting, and investigating financial frauds)
• Tax Preparation and Planning
• Estate Planning
• Corporate Governance
• Income Tax

While some CPAs are generalists and offer a range of services (especially those in small practices) many CPAs specialize in just one area and do not provide all the services listed above.

CPA exam

In order to become a U.S. CPA, the candidate must sit for and pass the Uniform Certified Public Accountant Examination (Uniform CPA Exam), which is set by the American Institute of Certified Public Accountants and administered by the National Association of State Boards of Accountancy. The first law establishing the CPA designation was passed in New York on April 17, 1896[2].

Eligibility to sit for the Uniform CPA Exam is determined by individual State Boards of Accountancy. Typically the requirement is a U.S. bachelors degree which includes a minimum number of qualifying credit hours in accounting and business administration with an additional 1 year study. This requirement for 5 years study is known as the "150 hour rule" and has been adopted by the majority of state boards, although there are still some exceptions (e.g.California). This requirement mandating 150 hours of study has been adopted by 45 states.

The Colorado State Board of Accountancy allows Chartered Certified Accountants (ACCA), together with Chartered Accountants from eligible jurisdictions automatic eligibility to sit for the Uniform CPA Exam as a Colorado candidate.

Certain overseas qualified accountants seeking to become U.S. CPA may be eligible to sit for the International Qualification Examination as an alternative to the Uniform CPA Exam.

The Uniform CPA exam tests general principles of state law such as the law of contracts and agency (questions not tailored to the variances of any particular state) and some federal law as well.[3]

Other licensing and certification requirements

Although the CPA exam is uniform, licensing and certification requirements are imposed separately by each state's laws and therefore vary from state to state.

State requirements for the CPA qualification can be summed up as the Three Es - Education, Examination and Experience. The Education requirement normally must be fulfilled as part of the eligibility criteria to sit for the Uniform CPA and the Examination component is the Uniform CPA itself.

Two tier states

Some states have a 2 tier system whereby an individual would first become certified as a CPA -- usually by passing the CPA exam. That individual would then later be eligible to be licensed once a certain amount of work experience is accomplished. Most states, however, have a 1 tier system whereby an individual would be certified and licensed at the same time when both the CPA exam is passed and the work experience requirement has been met.

Two-tier states include Alabama, Illinois, Montana, Florida and Nebraska. However the trend is for 2-tier states to gradually move towards a 1-tier system. Since 2002, the State Boards of Washington and South Dakota have ceased issuing CPA certificates, and Illinois plans to follow suit in 2010.

A number of states are 2-tiered, but require work experience for the CPA certificate, such as Ohio.

Work experience requirement

The Experience component varies from state to state:

• The 2-tier states generally do not require work experience for a CPA certificate (it is required for a license to practice).
• Some states, such as Colorado and Massachusetts, will waive the work experience requirement for those with a higher academic qualification compared to the state's requirement to appear for the Uniform CPA
• The majority of states still require work experience to be of a public accounting nature. However an increasing number of states, including Oregon, Virginia, Georgia and Kentucky will accept experience of a more general nature in the accounting area. This allows persons to obtain the CPA designation while working for a corporation's finance function.
• The majority of states require work experience to be verified by a licensed CPA. This can cause difficulties for applicants based outside the United States. However, some states such as Colorado and Oregon will accept work experience certified by a Chartered Accountant as well.

Ethics

Over 40 of the state boards now require applicants for CPA status to complete a special examination on ethics, which is effectively a Fourth E in terms of requirements to become a CPA. The majority of these will accept the AICPA self-study Professional Ethics for CPAs CPE course, however some states (notably California) set their own course, or specify a different requirement.

Continuing Professional Education

Most states require attendance for a minimum number of hours annually (often 40 hours annually or 80 hours biannually) for appropriate continuing professional education (CPE) to maintain a CPA license.

Two-tier states do not usually require CPE to maintain a CPA certificate. However, all members of the American Institute of Certified Public Accountants must undertake CPE as a condition of AICPA membership.

Inter-state practice

An accountant is required to meet the legal requirements of any state in which he wants to practice. Also, the term "practice of public accounting" and similar terms are given definitions that vary from state to state. The practice of public accounting under state law often includes the signing of audit reports and the performance of other services, such as tax or management consulting, while holding oneself out as a CPA.

Most states will grant CPA status under reciprocity to a CPA licensed in another state. CPAs from states with less stringent educational requirements may not be able to benefit from these provisions. This does not affect those CPAs who do not plan to offer services directly to the public. Moreover, most states would grant the temporary practising rights to a CPA licensed in another state.

Practice Mobilty

In recent years, practice mobility for CPAs has become a major issue of concern. Practice mobility for CPAs is the ability of a licensee to gain a practice privilege outside of their home state without getting an additional license in another state where they will be serving a client.

Because the electronic age makes conducting business across state borders an everyday occurrence, there is a critical need for states to adopt a uniform mobility system that will allow licensed CPAs to provide services across state lines without unnecessary burdens that do not protect the public interest.

Currently, each state has its own rules, regulations and requirements to allow out-of-state CPAs to provide services in that state, resulting in a patchwork system that is inefficient and increasingly difficult to navigate.

The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) and the National Association of State Boards of Accountancy (NASBA) have analyzed the current system for gaining practice privileges across state lines and have concluded it simply does not work.

Compliance and enforcement of the existing system is almost impossible, with multiple, cumbersome processes and disparities in requirements and fees. Business realities, including an increase in interstate commerce and virtual technologies require a uniform system that allows fluid practice across state lines.

Implementation of a uniform provision would allow consumers to receive timely services from the CPA best suited to the job, regardless of location, without the hindrances of unnecessary filings, forms and increased costs that do not protect the public interest.

Businesses today are often located in multiple states and have compliance responsibilities in multiple jurisdictions and a uniform process will give CPAs the flexibility to better serve these clients.

Uniform adoption of the substantial equivalency provision included in the Uniform Accountancy Act (the model bill for CPA regulation written and endorsed jointly by AICPA and NASBA) will create a system similar to the nation’s driver license that will provide CPAs with mobility while retaining and strengthening state boards’ ability to protect the public interest.

Prior to 2007, four states (Ohio, Missouri, Virginia and Wisconsin) had practice mobility laws in place for CPAs. In 2007, seven more states (Tennessee, Texas, Illinois, Indiana, Maine, Rhode Island and Louisiana) enacted new practice mobility laws for CPAs. As many as twenty states are expected to consider this type of legislation in 2008.

AICPA membership

The CPA designation is granted by individual state boards, not the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). Membership in the AICPA is not obligatory for CPAs, although many CPAs do join. To become a full member of AICPA, the applicant must hold a valid CPA certificate or license from at least one of the fifty-five U.S. state/territory boards of accountancy; some additional requirements apply.

State CPA association membership

CPAs may also choose to become members of their local state association or society (also optional). Benefits of membership in a state CPA association range from deep discounts on seminars that qualify for continuing education credits to protecting the public and profession's interests by tracking and lobbying legislative issues that affect local state tax and financial planning issues.

CPAs who maintain state CPA society memberships are required to follow a society professional code of conduct (in addition to any code enforced by the state regulatory authority), further reassuring clients that the CPA is an ethical business professional conducting a legitimate business who can be trusted to handle confidential personal and business financial matters. State CPA associations also serve the community by providing information and resources about the CPA profession and welcome inquiries from students, business professionals and the public-at-large.

CPAs are not normally restricted to membership in the state CPA society in which they reside or hold a license or certificate. Many CPAs who live near state borders or who hold CPA status in more than one state may join more than one state CPA society.

International context

Many persons from outside the United States obtain the U.S. CPA designation through sitting for the Uniform CPA Exam or International Qualification Examination (IQEX). Due to the size of the U.S. accounting profession and the importance of U.S. accounting rules, many overseas accountants wish to obtain the U.S. CPA designation in addition to, or as an alternative to, a local qualification.

The designation Certified Public Accountant also exists as a public accounting designation in many overseas countries, unrelated to the U.S. CPA designation. These countries include:

• China: The Chinese Institute of Certified Public Accountants
• Cyprus : Institute of Certified Public Accountants in Cyprus
• Hong Kong : Hong Kong Institute of Certified Public Accountants
• Republic of Ireland : Institute of Certified Public Accountants in Ireland
• Pakistan : Institute of Chartered Accountants of Pakistan
• Israel : Institute of Certified Public Accountants in Israel
• India : Institute of Chartered Accountants of India
• Indonesia : The Indonesian Institute of Accountants
• Japan : The Japanese Institute of Certified Public Accountants
• Kenya : Institute of Certified Public Accountants of Kenya
• Korea : The Korean Institute of Certified Public Accountants
• Malaysia : Malaysian Institute of Certified Public Accountants
• Malta : The CPA title is given to qualified who have at least 3 years of experience, in accordance to the Accountancy Profession Act.
• Mexico : The National Federation of Certified Public Accountants, The Mexican Institute of Certified Public Accountants
• Philippines : Philippine Institute of Certified Public Accountants
• Singapore : Institute of Certified Public Accountants of Singapore
• United States: https://www.aicpa.org American Institute of Certified Public Accountants

Source : http://en.wikipedia.org/wiki/Certified_Public_Accountant

Tuesday, April 22, 2008

Members of The Forum of Firms

Register of Full Members, Provisional Members and Affiliates
As of January 22, 2008

Full Members :

Baker Tilly International
BDO International
Constantin Associates
Deloitte Touche Tohmatsu
Ernst & Young Global Limited
Grant Thornton International
HLB International
Horwath International Association
INPACT Audit
KPMG International
Mazars
PKF International
PricewaterhouseCoopers International
RSM International Limited
Russell Bedford International
Talal Abu-Ghazaleh International
UHY International

Provisional Members :

IEC
JHI
Moore Stephens International
Polaris International

Affiliates

None

Source : http://www.ifac.org/MediaCenter/files/542_Forum_of_Firms_Register_Jan_22_2008.pdf

Forum of Firms Announces Names of Networks Gaining Full Membership

Forum of Firms Announces Names of Networks Gaining Full Membership;
Establishes New Global Benchmark in International Audit Quality

(New York/January 22, 2008)

Seventeen international networks of accounting firms have reached a new milestone in their commitment to audit quality by becoming the first full members of the Forum of Firms. These international networks, whose member firms perform transnational audits, have reported that they have implemented a globally coordinated quality assurance program, committed to the use of International Standards on Auditing (ISAs), and met other quality and ethics requirements, the Forum of Firms announced today.

A list of the Forum's first full members is attached.

"The commitment of these networks to the Forum's membership obligations is a significant contribution towards consistent audit quality across borders - a goal consistently advocated by users of financial information as well as regulators and issuers themselves," states Forum Chairman David Maxwell. "The actions taken by the members of the Forum represent their dedication to achieving convergence of the various national audit standards to ISAs. This will contribute to the reduction of complexity, making audits more timely and efficient."

The Forum of Firms, formally established in 2002, is an association of international networks of accounting firms. These firms perform audits of financial statements that are or may be used across national borders. The Forum's goal is to promote consistent and high quality standards of financial reporting and auditing practices worldwide. It conducts its business through its executive arm, the Transnational Auditors Committee (TAC), which is also a committee of the International Federation of Accountants (IFAC). The members of the TAC are nominated by Forum members.

The networks comprising the group of first full members originally joined the Forum as provisional members. 2007 represented the first year provisional members could move to full membership. As of January 2008, of the 21 Forum members, 17 are full members and four are provisional members. The Forum's current provisional members are working toward becoming full members in 2008.

Membership in the Forum is open to networks and firms of all sizes that have transnational audit engagements or are interested in accepting such engagements and agree to meet Forum membership requirements. Members must promote the consistent application of high quality audit practices worldwide, including the use of ISAs, and support convergence of national audit standards with ISAs.

The Forum's membership obligations require:
• The maintenance of appropriate quality control standards in accordance with International Standards on Quality Control issued by the International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) in addition to relevant national quality control standards, and the conduct, to the extent not prohibited by national regulation, of regular globally coordinated internal quality assurance reviews;
• That policies and methodologies for the conduct of transnational audits that are based, to the extent practical, on ISAs issued by IAASB; and
• That policies and methodologies conform to the IFAC Code of Ethics for Professional Accountants and national codes of ethics.

For additional details on the Forum of Firms, please visit: http://www.ifac.org/Forum_of_Firms/.

Attachments:
542_Forum_of_Firms_Register_Jan_22_2008.pdf (22797)

Source : http://www.ifac.org/MediaCenter/?q=node/view/542

Monday, April 21, 2008

Risiko Salah Saji Akun Pajak pada Laporan Keuangan





Oleh : Syarief Basir

Setiap kali menjelang akhir Maret akuntan disibukkan oleh kegiatan yang berkaitan dengan penyelesaian laporan keuangan tahun yang telah lalu. Akuntan yang bekerja di perusahaan dan akuntan auditor seolah sama-sama mengejar target penyelesaian laporan keuangan tersebut. Akuntan manajemen berusaha mencatat transaksi-transaksi tersisa yang belum dibuku pada pembukuan rutin harian, melakukan pencatatan jurnal penyesuaian, menutup laporan keuangan, dan memfinalisasi laporannya. Sementara auditor berupaya memenuhi permintaan kliennya untuk juga segera menyelesaikan semua prosedur audit dan mengumpulkan bukti-bukti audit yang signifikan, menganalisa kecukupannya, serta menyimpulkannya dalam pernyataan pendapat (opini auditor) terhadap laporan keuangan yang diauditnya. Oleh karena itu pada Maret ini sering dianggap sebagai puncak kesibukan para akuntan.

Terdapat berbagai alasan mengapa Laporan keuangan segera diselesaikan pada bulan Maret. Alasan tersebut antara lain: Pertama, karena Maret adalah akhir kwartal pertama dari suatu tahun, sehingga manajemen perusahaan membutuhkan laporan keuangan tahun yang lalu yang sudah final (audited) untuk digunakan dalam revisi perencanaan tahun berjalan. Kedua, banyak perusahaan yang akan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 66 Undang-undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku perseroan berakhir. Maret dianggap waktu yang ideal diantara batas 6 bulan maksimum, tidak terlalu dekat ke tutup buku tahun lalu, dan tidak terlalu dekat dengan batas maksimum 6 bulan tadi. Ketiga, alasan yang sangat dominan karena Maret adalah batas akhir panyampaian laporan pajak (SPT) tahunan ke Kantor Pelayanan Pajak. Berdasarkan peraturan pajak yang berlaku, tanggal 25 Maret adalah batas akhir pembayaran hutang pajak tahunan, dan tanggal 31 Maret adalah batas akhir penyampaian SPT nya.

Laporan keuangan yang diselesaikan pada Maret, apapun peruntukkannya, termasuk yang ditujukan untuk dasar perhitungan pajak, serta untuk kelengkapan penyampaian SPT ke KPP harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan adanya salah saji. Dengan pengetahuan profesionalnya para akuntan menyadari bahwa informasi yang salah saji dapat mengakibatkan pihak lain, pembaca laporan, membuat kesimpulan atau keputusan yang salah dan merugikan.

Dalam teori auditing, salah saji adalah suatu risiko bawaan (inheren) pada setiap transaksi yang dibuku dalam laporan keuangan. Akun pajak misalnya, memiliki risiko bawaan salah saji. Besarnya risiko tergantung kepada berbagai faktor, seperti faktor komitmen manajemen terhadap kepatuhan perpajakan, tingkat kesulitan tata cara menghitung pajak, kompleksitas transaksi, kejelasan peraturan pajak, dan sebagainya. Oleh karena itu, penyajian asersi perpajakan dalam laporan keuangan harus mempertimbangkan adanya risiko salah saji tersebut. Akuntan manajemen bisa melakukan antisipasi atas risiko bawaan salah saji, misalnya dengan memperkuat sistim pengendalian intern, sedangkan bagi auditor dapat melakukannya dengan melakukan tes pengendalian dan tes substantif yang cukup untuk mendeteksi salah saji dari akun-akun perpajakan.

Kesalahan penyajian laporan keuangan dapat terjadi karena kesalahan (error) atau kecurangan (fraud). Bentuk error atau fraud dalam kaitannya dengan perpajakan antara lain 1) kesalahan perhitungan pajak, dan 2) kesalahan pengungkapan, prosedur dan metode. Kesalahan perhitungan dapat terjadi apabila dasar pengenaan pajaknya salah, tarif yang digunakan salah, dan sebagainya. Kesalahan pengungkapan, prosedur dan metode misalnya, kesalahan klasifikasi, kesalahan dalam pengakuan pendapatan/biaya, metode pengukuran yang salah, kesalahan dalam menentukan koreksi fiskal, kesalahan dalam menentukan nilai kompensasi akumulasi kerugian, dan sebagainya.

Sebagai akibat dari kesalahan di atas, maka kesalahan penyajian dalam laporan keuangan dapat terjadi pada beberapa akun (rekening), antara lain akun biaya pajak, akun hutang pajak, dan akun pajak tangguhan. Sering akun-akun ini memiliki angka saldo yang material, sehingga selalu memancing keingintahuan pembaca laporan keuangan untuk meyakini keandalannya. Seorang Investor misalnya, selalu memasukan pos-pos tersebut sebagai bagian dari check-list pertanyaan yang akan ditanyakan kepada penyaji laporan keuangan. Auditor juga memasukkan akun-akun tersebut untuk diketahui isu audit yang kritikalnya (critical audit issue), dan tentu saja Kantor Pajak akan memberi perhatian sungguh-sungguh untuk memeriksa keandalan angka-angka pada akun-akun tersebut.

Apabila dikaitkan dengan jenis-jenis pajak, maka kesalahan pada akun-akun di atas dapat terjadi dari berbagai jenis pajak. Namun untuk yang berkaitan dengan pajak tahunan yang dilaporkan pada bulan Maret, maka jenis pajak yang amat besar berkontribusi pada salah saji akun di atas adalah Pajak Penghasilan Badan, dan Pajak Penghasilan Karyawan (PPh Pasal 21).

Dalam Pajak penghasilan badan (perusahaan), penyebab kesalahan bisa ditimbulkan oleh kesalahan dalam menghitung laba kena pajak. Kita mengetahui bahwa laba kena pajak (laba fiskal) adalah laba yang disesuaikan dari laba akuntansi. Dengan demikian kesalahan laba kena pajak bisa dimulai dari kesalahan penentuan laba akuntansi. Dalam menghitung laba akuntansi kesalahan umumnya disebabkan oleh tidak tepatnya melakukan pengakuan atas pendapatan dan biaya. Penentuan pendapatan sebagaimana ditentukan oleh standar akuntansi yang berlaku umum seharusnya menggunakan basis akrual, kecuali untuk hal tertentu dapat dilakukan dengan basis kas. Dalam praktek, basis akrual ini secara sengaja maupun tidak sengaja kadang menjadi “celah” untuk mengakui atau tidak mengakui pendapatan pada waktunya, karena basis akrual yang menetapkan pengakuan pendapatan dilakukan ketika “risiko yang signifikan dan kepemilikan telah diserahkan” kadang menjadi subjektif dan tidak ditemukan patokan untuk menetapkan signifikansi risiko telah beralih. Misalnya ketika mengakui pendapatan atas penjualan jasa, bagaimana menetapkan signifikan risiko telah beralih jika pihak pembeli dan penjual jasa belum sepakat mengenai signifikansi penerimaan jasa tersebut.

Selain masalah akrual, pengakuan pendapatan untuk beberapa transaksi di industri tertentu adalah rumit. Misalnya pada jasa konstruksi yang diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 34 tentang Akuntansi Kontrak Konstruksi, Pada industri ini pengakuan pendapatan dilakukan dengan percentage of completion method yang perhitungannya tidak sederhana. Pada industri pengembangan real estate, pengakuan pendapatan juga diatur khusus sebagaimana diatur dalam PSAK 44 tentang Akuntansi Aktivitas Pengembangangan Real Estat. Disini pengakuan pendapatan juga tidak sederhana, karena harus mempertimbangkan besarnya uang muka dari pembeli, proses pengembangan tanah, dan sebagainya. Kompleksitas pengakuan dan pengukuran pendapatan ini meningkatkan risiko bawaan salah saji dalam penyajian pendapatan dalam laporan keuangan.

Demikian juga pengakuan biaya, kesalahan perhitungan laba akuntansi bisa terjadi karena kesalahan dalam mengukur dan mengakui biaya yang juga menggunakan basis akrual. Untuk industri yang dicontohkan di atas pengakuan biaya diatur khusus dalam PSAK tersendiri, yang juga penerapannya tidak sederhana dan seringkali menimbulkan perdebatan penafsiran dan penerapannya antara akuntan manajemen sebagai penyusun laporan keuangan dengan akuntan auditor.

Dalam melakukan penyesuaian laba akuntansi menjadi laba fiskal, kesalahan dapat terjadi dalam menentukan koreksi fiskal. Alasan terjadinya kesalahan adalah karena kurang akuratnya memasukkan mana-mana biaya yang harus dimasukan sebagai koreksi fiskal. Ada dua jenis koreksi yang digunakan , yaitu beda waktu (temporer) dan beda tetap (permanen). Beda temporer yaitu perbedaan karena dalam perhitungan laba fiskal mengakui biaya lebih cepat atau lebih lambat daripada akuntansi, sedangkan beda permanen adalah manakala pajak tidak akan mengakui biaya sedangkan akuntansi mengakuinya sebagai biaya. Beberapa koreksi karena beda permanen bersifat samar (grey area), sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda beda oleh penyusun laporan pajak dan laporan keuangan.

Untuk PPh pasal 21, salah saji juga dapat disebabkan oleh kesalahan perhitungan beban PPh 21, terutama apabila perusahaan membayar tunjangan PPh atau menanggung PPh karyawan. PPh pasal 21 karyawan sejatinya adalah beban yang harus dibayar oleh karyawan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan pemungutan oleh pemberi kerja dari gaji yang dibayarkan, kemudian pada bulan berikutnya selambat-lambatnya tanggal 10 disetorkan ke kas Negara. Pada setiap akhir tahun, atau umumnya Maret, pajak yang dihitung, dipotong dan disetorkan ke kas Negara dihitung kembali untuk mengetahui angka akhir PPh pasal 21 tahunannya. Namun demikian, terdapat beberapa perusahaan yang memiliki kebijaksanaan untuk membayar gaji dengan metode bersih (net) kepada karyawan, artinya beban pajak karyawan dibayar dengan cara ditunjang atau ditanggung oleh perusahaan. Dalam hal perusahaan menunjang atau menanggung beban pajak penghasilan karyawan maka risiko bawaan salah saji, baik karena error maupun fraud cenderung meningkat. Ada beberapa perusahaan yang secara tidak sengaja kurang memasukan komponen yang seharusnya menjadi dasar pengenaan pajak, yaitu komponen selain gaji pokok. Misalnya, tunjangan makan, transportasi, jamsostek dan sebagainya. Disamping itu, ada pula perusahaan yang melakukan kesengajaan tidak memasukkan komponen tersebut dalam perhitungan pajak karyawannya. Sehingga dengan tidak termasuknya seluruh komponen dasar pengenaan pajak, maka pajak yang dibayar dengan cara ditunjang atau ditanggung oleh perusahaan menjadi lebih kecil. Lebih keliru lagi, kalau perusahaan memang tidak memasukkan seluruh gaji karyawan dalam perhitungan pajak, dalam hal ini hanya karyawan tertentu saja yang dihitung (biasanya sebagian karyawan tetap), sedangkan karyawan tidak tetap tidak dihitung, dibayar, dan disajikan dalam laporan keuangannya.

Hal lain yang berkaitan dengan perpajakan, adalah terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagai hasil dari pemeriksaan pajak oleh kantor pajak. SKP umumnya diterbitkan untuk tahun pajak yang telah lewat. SKP memuat ketetapan lebi bayar atau kurang bayar atas pajak tahun fiskal tertentu. Apabila terjadi kekurangan bayar tahun lalu, maka SKP dibayarkan pada tahun SKP tersebut diterbitkan. Apabila kewajiban tersebut jumlahnya besar, artinya kesalahan dalam SPT dan laporan keuangan tahun yang lalu besar, maka akan memberatkan bagi sebagian perusahaan untuk mencatat pembayaran SKP tersebut pada tahun dibayarnya kekurangan pajak (tahun berjalan). Oleh karena itu, beberapa perusahaan mencatat pembayaran tersebut sebagai koreksi laba rugi tahun lalu. Disinilah letak potensi salah saji, karena keberatan dari sebagian manajemen perusahaan untuk membebani kinerja tahun berjalan dengan kesalahan yang dibuat pada tahun lalu. Terlepas dari adanya keberatan, maka dengan mengacu kepada PSAK yang berlaku, yaitu PSAK 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan paragraf 34, perlakuan SKP tersebut diatur sebagai berikut: “Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendpatan atau beban lain-lain pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan/atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya. Apabila terdapat kesalahan mendasar, maka perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK No. 25 ….”


Masih berhubungan dengan PSAK No. 46, perhitungan pajak penghasilan perusahaan juga menimbulkan dampak untuk menyajikan aktiva atau kewajiban pajak tangguhan dalam laporan keuangan. Dalam PSAK 46 paragraf 7 didefinisikan bahwa aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya ; a) perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan b) sisa kompensasi kerugian. Sedangkan kewajiban pajak tangguhan adalah Jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak. Karena pajak tangguhan ini dipengaruhi oleh perbedaan tidak tetap (temporer), dan sisa kompensasi kerugian, maka salah saji laporan keuangan untuk akun pajak tangguhan dipengaruhi oleh keakuratan dan kejujuran akuntan manajemen dalam menyajikan perbedaan temporer dalam menghitung PPh badannya. Perbedaan temporer bisa timbul dari berbagai transaksi, seperti penyusutan aktva tetap, biaya imbalan paska kerja, biaya pemerolehan dalam suatu penggabungan usaha yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasi pada aset dan kewajiban tertentu berdasarkan dasar nilai wajar, dan sebagainya. Sedangkan mengenai kompensasi kerugian (rugi fiskal), sumber kesalahan dalam perhitungan pajak tangguhan adalah kurang telitinya dalam mempertimbangkan jangka waktu kerugian yang dapat diperhitungkan, yaitu kerugian selama 5 tahun terakhir, dan kekurangcermatan dalam menggunakan kompensasi kerugian, dari seharusnya rugi fiskal namun yang digunakan adalah rugi akuntansi.

Risiko kesalahan lain dalam penyajian akun pajak tangguhan adalah penggunaan metode perhitungannya. Beberapa akuntan manajemen yang menghitung pajak tangguhan hanya dengan pendekatan laba-rugi (income statement approach). Dengan pendekatan ini perubahan pajak tangguhan yang dicatat dalam akun biaya/pendapatan pajak tangguhan dihitung dari besarnya perubahan beda temporer atau akumulasi rugi tahun berjalan. Sebagai akibatnya, angka saldoaktiva/kewajiban pajak tangguhan sering menjadi tidak akurat. Kesalahan sejenis ini dapat dihindari apabila perhitungan pajak tangguhan menggunakan pendekatan neraca (balance sheet approach), atau apabila masih dilakukan dengan pendekatan laba-rugi harus diikuti dengan rekonsiliasi agar saldo aktiva/kewajiban pajak tangguhan sesuai dengan cara pendekatan neraca.

Kembali kepada Maret, adalah bulan saat para akuntan amat sibuk dengan penyusunan laporan keuangan, perhitungan, serta pelaporan Pajak. Pajak umumnya memiliki pengaruh yang signifikan pada penyajian laporan keuangan. Kesalahan dalam melakukan perhitungan pajak atau kesalahan pengungkapan, metode dan prosedur akan berdampak pada kesalahan dalam penyajian laporan keuangan. Akuntan sebagai profesi yang bertangggungjawab dalam penyajian laporan keuangan mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mencegah terjadinya kesalahan tersebut. Baik akuntan manajemen maupun akuntan auditor dengan kemampuan profesionalnya harus sudah menyadari disamping risiko bawaan pada akun pajak untuk salah saji, juga terdapat penyebab lain timbulnya kesalahan yang harus diantisipasi dan diditeksi sehingga salah saji akun pajak dalam laporan keuangan dapat diminimalisir.

Dipublikasikan pada Majalah Akuntan Indonesia edisi No. 7/Tahun II/April 2008

Friday, April 18, 2008

Marketing VS Tax

It is unarguable that the role of marketing in achieving success is important. In fact, in most companies, especially private ones, marketing holds a vital role just like a striker in soccer play. Marketing may lead to the companies’ goal or give contribution to the ruin of the Company at a same time.

Considering the significant role of marketing, many companies have developed various ways to introduce or sell their products to its customer using direct and indirect methods. In the direct method (direct marketing), a company would give a free gift directly, discount, or any other benefit to the buyers or users. In practice, this method is easier but can only give a short time benefit for the company. The indirect marketing method, in the contrary, can give the company a longer benefit but requires more money in its implementation. This indirect method can be performed by establishing brand awareness and brand image to potential customers about the company’s products.

Many Companies do not pay attention to additional cost of their marketing fund. In this case, they are not aware about taxation aspects related with their fund allocation as a strategy to minimize tax implication in the future. Some examples of marketing strategy and its taxation implications are explained below:

Provision of Sales Commission

A company usually has a policy to give commission both to individuals and bodies that give contribution to the Company’s product sales. This commission represents an appreciation as well as a method to increase the product selling in the future.

According to accounting term, commission is defined as money received as remuneration for broker/agent in a transaction of goods, loan agreement, etc. Upon this commission, a Company as a taxpayer has to impose Income Tax Article (ITA) 21 to an individual recipient or ITA 23 to a corporate recipient.

In addition, a Company should also pay attention to taxation aspects of deemed commission. According to Circular Letter S-29/PJ. 43/2003, the Tax Office may deem a discount or an incentive on sales given to buyer as a commission if the discount and the incentive are treated as remuneration to reduce customer’s liability. This provision includes the term of gift in whatever form and name in relation with work, service and other activities conducted by the gift recipient.

Discount or sales incentive are not treated as commission if it is given as price deduction to determine net sales value for the seller or price value for the buyer. In Circular of Director General of Taxes No.S-350/PJ.52/2005, Tax Office requires the discount to be stated in the tax invoice or it would be deemed as a sales commission.

Based on Article 1 of Law No. 18 of Value Added Tax and Sales Tax on Luxury Goods (VAT Law), the discount stated in a tax invoice may reduce the sales price or compensation value to be used as a tax base. Referring to that provision, there has been a bias in the implementation of regulation where the discount stated in tax invoice is supposed to be a facility for a taxpayer to reduce VAT base. If the taxpayer does not take benefit from this facility, however, then the Tax Office should not impose sanction by treating the discount as commission.

Provision of Free Sample or Direct Gift

Sample product and direct gift given to potential customer/buyer are still considered as an effective marketing strategy for a company to introduce their new products to the public.

According to the VAT Law, this strategy is categorized as free of charge delivery on which VAT is due. Consequently, the company should collect VAT on the free giving. Therefore, the Company should not only consider the free giving but also additional cost of 10% from the expense incurred.

Nowadays, the term of free giving has changed from its previous meaning. In earlier time, free giving may only refer to a company’s product or sales goods owned by the company which is given to other parties. In the meantime, the free giving does not only refer to a company’s products but to any products/goods given to a potential customer or the public.

In Circular No.S-557/PJ.33/2005, one of illustrations mentions a company’s contribution merely in form of shroud that is still categorized as free giving on which the VAT is due.

From this point, we can see that when a company performs a promotion activity by giving their products for free in form of umbrella, ballpoint, calendar, or other marketing tools on which the company’s logo is printed, this activity would potentially be deemed as free giving of goods on which VAT is due. This VAT due is calculated from the sales value after reduced by gross profit. The question is which gross profit? It is because of the company has never planned or has no plans to gain profit from such activity).

The above illustration is an example of many problems faced by taxpayers when they try to apply or develop their strategies.

The Tax Office that should give a space for the strategies to be developed and fro creating conducive business climate tends to act against the strategies without considering its advantages and disadvantages. It seems that the Tax Office still considers the strategies as a threat for their supremacy. As a result, an expectation where the Tax Office and Taxpayer are able to walk hand in hand is still far from reality.

To change the condition above, the company does not only need to develop marketing strategies but also to plan self defense strategies in order to overcome the Tax Office’s attack. Some plans for this case are as follows:

1. Strategy to overcome the implementation of Deemed Commission
o Maximizing facility
To maximize facility by stating discount in tax invoice can be considered as a best way to avoid deemed commission. This strategy can also give other benefit in form of deduction of VAT tax base.
For cash discount which is previously not stated in tax invoice, the company may make revision on the tax invoice by adding discount element in a new tax invoice.
o Reducing price
As an alternative, the company may also make net off between discount and sales price. To avoid transfer pricing, this alternative is recommended only if the transaction is conducted with a party with no special relationship.
o Say no to Cash Back
The company should avoid discount in cash. In this case, instead of consider that “cash is the king”, the company should avoid the discount in cash since it will lead the Tax Office to consider the discount as commission as meant in Circular of Director General of TaxesNo. S-350/PJ.52/2005.
2. Strategy to give free sample and direct gift
o Buy one get one free
Buy one get one free is a term commonly used in many shopping centers to increase product selling. It is a strategy in which a free sample or a direct gift given to customers when they buy similar products of a company. At the same time the said company will include the value of the free sample or gift as element of the selling price. Further, the said company states the actual price of the free sample or the direct gift as discount in the related tax invoice. Using this strategy, only the selling price given to the costumers is subject to VAT since the actual price of the free sample or the direct gift has been calculated as discount in the tax invoice.

Of course there are many other strategies that can be developed by a company. In practice, however, these strategies should be in line with the general provisions and tax procedures. Breaking the prevailing provision will only cause a new problem in the future.

Source : http://mucglobal.com/main.php?open=h&mode=view&volid=&id=38&kat=

UKM akan dikenakan PPh final

Bisnis Indonesia, 17 April 2008

JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak, Depkeu, akan mengenakan pajak penghasilan (PPh) final terhadap usaha kecil dan menengah dengan peredaran bruto atau omzet maksimal Rp5 miliar per tahun.

Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan rencana itu merupakan bagian dari kebijakan Ditjen Pajak untuk fokus pada wajib pajak besar dan menengah yang terdaftar di Kanwil WP Besar, Kanwil Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia. Langkah itu diharapkan dapat menyederhanakan sistem perpajakan bagi wajib pajak kecil yang terdaftar di KPP Pratama.

Menurut dia, penerimaan pajak dari dua kanwil utama itu ditambah penerimaan dari 31 KPP Madya sudah mencakup 92% penerimaan Ditjen Pajak.

"Atas dasar itu, kami akan mengarahkan aparat pajak untuk fokus pada mereka. Sementara itu, untuk WP kecil yang terdaftar di KPP Pratama, kami akan mengenakan PPh final yang tarifnya berbeda-beda untuk setiap sektor usaha," tuturnya kepada Bisnis Selasa pekan ini.

Kanwil Pajak WP Besar, yang biasa disebut Kanwil LTO (large tax office), memiliki tiga kantor pelayanan, yaitu KPP WP Besar I, KPP WP Besar II, dan KPP BUMN. Kanwil Pajak Khusus, berlokasi di Jakarta, membawahi KPP Perusahaan Masuk Bursa, KPP Badan dan Orang Asing I, KPP Badan dan Orang Asing II, dan KPP PMA I hingga KPP PMA VI.

KPP Madya adalah KPP yang dibentuk di setiap Kanwil Pajak, kecuali Kanwil utama. KPP ini menampung perusahaan kelas menengah. Selebihnya adalah KPP Pratama yang jumlahnya sekitar 300-an di seluruh Indonesia.

Batasan WP kecil di KPP Pratama adalah perusahaan dengan peredaran bruto atau omzet maksimal Rp5 miliar per tahun. Batasan itu, menurut Darmin, mengacu pada UU Usaha Kecil dan Menengah.

Darmin yakin strategi penetapan PPh final akan membuat alokasi sumber daya yang dimiliki Ditjen Pajak lebih maksimal. Pasalnya, sistem final lebih memudahkan pengawasan.

Penerapan sistem pajak final diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan yang berbunyi: Atas penghasilan berupa deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ditjen Pajak akan memanfaatkan frase kata 'dan penghasilan tertentu lainnya' sebagai dasar hukum pengenaan PPh final bagi usaha kecil. Namun, Darmin belum bisa memastikan berapa kisaran tarif PPh final yang akan diberlakukan.

"Sekadar ilustrasi, kalau di sektor perdagangan seperti di Tanah Abang, tarif 2% saya kira sudah rasional. Margin profit perdagangan tidak besar," katanya.

Memudahkan WP

Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiago S. Uno menyambut baik rencana pemerintah menetapkan PPh final kepada UKM berdasarkan omzet.

"PPh final akan mempermudah perhitungan pajak. Kalau perhitungan dari laba, banyak UKM mengalami kesulitan dengan laporan keuangannya."

Namun, lanjutnya, Hipmi mengharapkan pemerintah menetapkan pengecualian dalam penetapan PPh berdasarkan omzet. Apalagi saat ini ada keluhan dari UKM atas biaya produksi yang meningkat.

Sandiago berharap tidak semua UKM dikenakan tarif PPh final. Hal ini karena implementasinya belum tentu mudah.

Jenis kegiatan UKM yang dinilai cocok untuk dikenakan PPh final, menurutnya, adalah bisnis trading, sedangkan UKM yang bergerak di bidang kerajinan dikecualikan.

"Omzet UKM kerajinan naik-turun. Kalau mereka dikenakan juga [PPh final], bisa merugikan. Berbeda dengan UKM yang bergerak di bidang trading."

Deden Arfianto, Ketua Umum Fokus Pangan (Forum Kemitraan Usaha Pangan Indonesia), menilai pengenaan PPh final akan memukul bisnis UKM.

"Terbayang tidak jika ada UKM yang baru mulai usaha, kemudian dikenakan PPh dari omzetnya. Bagaimana mereka tidak akan menjerit jika pendapatan mereka langsung dipotong pajak."

Deden menilai rencana penerapan PPh final menunjukkan pemerintah semakin tidak mempunyai keberpihakan terhadap UKM.

Penerapan pajak, lanjutnya, seharusnya tetap berdasarkan laba. "Apalagi penerapan pajak penghasilan dilakukan secara progresif sesuai dengan besar kecilnya laba."

Dia mengakui pembukuan UKM umumnya tidak tertib karena mereka tidak mengerti sistem akuntansi.

Linda Silitonga & Parwito

Sumber : http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=1888

Wednesday, April 16, 2008

Tax Consultants... Should We Need Them?

There are various reasons most taxpayers have had for not using tax consultant services . However, the new tax regulations concerning proxy affirm that those taxpayers may not have a lot of choices now.

The existence of skillful staff in taxation area is one of the basic reasons why majority corporate taxpayers do not use tax consultant services . Using these services means extra money to pay their service fee. Having competent staff, taxpayers simply optimize their staff in performing their company ’ s tax rights and obligations.

What happens now when the Finance Minister Regulation ( Peraturan Menteri Keuangan: PMK) No.22/PMK.03/2008 and the Circular of Director General of Taxes No.SE-16/PJ./2008 have been issued? The above so called cost efficiency strategy will no longer be fully carried out. These two regulations clearly limit such opportunity.

Flexibility of ‘Small’ Taxpayers

Based on PMK No. 22/PMK.03/2008, a proxy can be either a consultant or a non consultant. Included in the category of non consultant are permanent employees/staff. In other words, a permanent employee/staff can still receive an authority from the employer as taxpayer to perform the employer ’ s tax rights and/or obligations. However, according to this PMK issued on 06 February 2008, the taxpayers who can give such authority to their employees/staff are only those categorized as ‘ small ’ taxpayers. The criteria of ‘ small ’ taxpayers are:

• Individual Taxpayers of non entrepreneur/non independent personal service provider ;

• Individual Taxpayers of entrepreneur/independent personal services provider with maximum gross business turnover/revenue of IDR 1,8 Billion / year ; or

• Corporate Taxpayers with maximum gross business turnover of IDR 2,4 Billion/year .

As further regulated in the Circular no. SE-16/PJ./2008, the non consultant category including employees eligible for being appointed as a proxy should meet these requirements:

a. Owning a Tax ID No. ;

b. Having filed the Annual Income Tax Return of the latest tax year ;

c. Owning tax competency certificate (brevet) /formal education certificate in taxation for a minimum of Diploma III degree, issued by a state university/private university with A accreditation; and

d. Obtaining a special proxy letter from the Taxpayer giving the authority.

Limitation of ‘Large’ Taxpayers
As previously mentioned , based on the PMK No. 22/PMK.03/2008, corporate taxpayers with gross business turnover more than IDR 2,4 Billion/year and individual taxpayers with gross business turnover/revenue more than IDR 1,8 Billion/year categorized as ‘ large’ taxpayers are not allowed to give a proxy to their employees/staff. However, pursuant to the issuance of the Circular SE-16/PJ./2008 on 10 March 2008, such limitation is lessened.

The said Circular states that “ directors, commissioners and majority or controlling shareholders including employees of a Taxpayer who actually have the authority to make policies and/or decisions in running the company may perform tax rights and/or obligations of the said taxpayer without any special proxy letter ” . Thus, it can be concluded that employees/staff having the authority in a company of a large taxpayer may automatically perform the company’s tax rights and/or obligations . The question is, how about the rest of employees who do not have such authority?

The Circular stipulates that specifically for the tax rights and/or obligations performed, taxpayers are allowed to assign their employees in the following :

1. Signing tax documents such as Tax Invoices and/or Tax Payment Slips , only with an Appointment Letter and not necessarily a Special Proxy Letter;

2. Submitting tax documents through tax offices , without a Special Proxy Letter/an Appointment Letter; and

3. Delivering and/or receiving tax documents, other than those submitted through tax offices, without an Appointment Letter.

Upon this Circular’s provision, the intricacy occurs when due to some reason the authorized persons in the company could not perform the company’s tax rights ad/or obligations (other than those three activities in the points mentioned above) , large taxpayers will have no other choice than to use tax consultant services. They will have to pay a tax consultant just for giving the signature in their monthly tax returns, for instance.

Moreover, another matter that forces the large taxpayers to use tax consultant services is related to unclear definition of ‘ who actually have the authority to make policies and/or decisions in running the company may perform tax rights and/or obligations of the said ’ . In practice, some of tax officers require written evidence confirming that the said employee is an employee as accorded with the said provision. Without such evidence, they would not give approval of the taxpayer’ s rights and/or obligations performed.

The most extreme thing occurs when the written evidence is already provided, certain tax officers are still unwilling to handle the process . They insist to handle it only if the authorized persons performing the tax rights and/or obligations are the Directors. What happen when the large taxpayers deal with such a tax officer and their directors are not be able to do the tax rights and/or obligations because of that? Once again, there is no other choice than to seek tax consultant ’ s assistance, for instance, to sign a monthly tax return.

Tips in Choosing Tax Consultants

The current condition really forces taxpayers to utilize tax consultant services. When this should be done, one thing for sure is being selective in choosing tax consultants. Legality, competency and ethics are the perfect combo to base the decision. In practice, there are a quite large number of tax consultants not having all of the criteria; few of them do not have even a single one.

Why Should Be Legalized?

The PMK No. 22/PMK.03/2008 and SE-16/PJ./2008 are the answer to this question. Besides requiring a special proxy from the taxpayers giving the authority, these regulations stipulate that the tax consultants appointed should fulfill the following:

a. Owning a Tax ID No.;

b. Having filed the Annual Income Tax Return of the latest tax year;

c. Owning Tax Consultant License from the Director General of Taxes on behalf of the Finance Minister

Therefore, choosing a person claiming as a tax consultant with no tax consultant license, is surely not a right choice.

Why Should Be Competent?

Competency is basically required in any field of work since in general it truly contributes to the success achieved in the future. In the tax field, competency for tax consultant level does not merely relate to comprehension of technical matters, it also involves multi perspective analytical skill.

In practice, a tax consultant with most excellent taxation expertise and tax analysis skill may not always succeed to fight for his argument in a dispute with the tax authority, whereas another tax consultant having less expertise and skill may have higher potential to win a dispute case. The main strategy above all of this is to view tax issues from different perspectives, not only from the taxpayer client and tax consultant perspectives. Understanding the tax officers’ perspective and their internal working procedure is one of the key element when finding best solution to the taxpayer clients. Certain tax consultants have such multi-perspectives due to their experience as they formerly worked in the same institution.

Why Should Be Ethical?

When tax consultants are reluctant to conform to the code of ethics in performing tax rights and/or obligation of their taxpayer clients, for instance, by not reporting the appropriate tax due or encouraging their clients to take unlawful actions over their tax cases, they actually cause losses either in terms of State tax revenue or even their taxpayer clients' efficiency. Any misconduct done will potentially be detected in the future time.

Thus, using unethical tax consultants who do not utilize their own competency is absolutely not a smart choice. It will be only delaying problems, not solving them.

Sumber : http://mucglobal.com/main.php?open=h&mode=view&volid=&id=40&kat=6

Waktu Jakarta, Bangkok dan Hanoi

Search Google

Jumlah Pengunjung Website

Daftar Pengunjung Website

Lokasi Pengunjung

Saat Ini On Line

Statistik Pengunjung Sejak 4 Februari 2009

free counters