Monday, April 21, 2008

Risiko Salah Saji Akun Pajak pada Laporan Keuangan





Oleh : Syarief Basir

Setiap kali menjelang akhir Maret akuntan disibukkan oleh kegiatan yang berkaitan dengan penyelesaian laporan keuangan tahun yang telah lalu. Akuntan yang bekerja di perusahaan dan akuntan auditor seolah sama-sama mengejar target penyelesaian laporan keuangan tersebut. Akuntan manajemen berusaha mencatat transaksi-transaksi tersisa yang belum dibuku pada pembukuan rutin harian, melakukan pencatatan jurnal penyesuaian, menutup laporan keuangan, dan memfinalisasi laporannya. Sementara auditor berupaya memenuhi permintaan kliennya untuk juga segera menyelesaikan semua prosedur audit dan mengumpulkan bukti-bukti audit yang signifikan, menganalisa kecukupannya, serta menyimpulkannya dalam pernyataan pendapat (opini auditor) terhadap laporan keuangan yang diauditnya. Oleh karena itu pada Maret ini sering dianggap sebagai puncak kesibukan para akuntan.

Terdapat berbagai alasan mengapa Laporan keuangan segera diselesaikan pada bulan Maret. Alasan tersebut antara lain: Pertama, karena Maret adalah akhir kwartal pertama dari suatu tahun, sehingga manajemen perusahaan membutuhkan laporan keuangan tahun yang lalu yang sudah final (audited) untuk digunakan dalam revisi perencanaan tahun berjalan. Kedua, banyak perusahaan yang akan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 66 Undang-undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku perseroan berakhir. Maret dianggap waktu yang ideal diantara batas 6 bulan maksimum, tidak terlalu dekat ke tutup buku tahun lalu, dan tidak terlalu dekat dengan batas maksimum 6 bulan tadi. Ketiga, alasan yang sangat dominan karena Maret adalah batas akhir panyampaian laporan pajak (SPT) tahunan ke Kantor Pelayanan Pajak. Berdasarkan peraturan pajak yang berlaku, tanggal 25 Maret adalah batas akhir pembayaran hutang pajak tahunan, dan tanggal 31 Maret adalah batas akhir penyampaian SPT nya.

Laporan keuangan yang diselesaikan pada Maret, apapun peruntukkannya, termasuk yang ditujukan untuk dasar perhitungan pajak, serta untuk kelengkapan penyampaian SPT ke KPP harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan adanya salah saji. Dengan pengetahuan profesionalnya para akuntan menyadari bahwa informasi yang salah saji dapat mengakibatkan pihak lain, pembaca laporan, membuat kesimpulan atau keputusan yang salah dan merugikan.

Dalam teori auditing, salah saji adalah suatu risiko bawaan (inheren) pada setiap transaksi yang dibuku dalam laporan keuangan. Akun pajak misalnya, memiliki risiko bawaan salah saji. Besarnya risiko tergantung kepada berbagai faktor, seperti faktor komitmen manajemen terhadap kepatuhan perpajakan, tingkat kesulitan tata cara menghitung pajak, kompleksitas transaksi, kejelasan peraturan pajak, dan sebagainya. Oleh karena itu, penyajian asersi perpajakan dalam laporan keuangan harus mempertimbangkan adanya risiko salah saji tersebut. Akuntan manajemen bisa melakukan antisipasi atas risiko bawaan salah saji, misalnya dengan memperkuat sistim pengendalian intern, sedangkan bagi auditor dapat melakukannya dengan melakukan tes pengendalian dan tes substantif yang cukup untuk mendeteksi salah saji dari akun-akun perpajakan.

Kesalahan penyajian laporan keuangan dapat terjadi karena kesalahan (error) atau kecurangan (fraud). Bentuk error atau fraud dalam kaitannya dengan perpajakan antara lain 1) kesalahan perhitungan pajak, dan 2) kesalahan pengungkapan, prosedur dan metode. Kesalahan perhitungan dapat terjadi apabila dasar pengenaan pajaknya salah, tarif yang digunakan salah, dan sebagainya. Kesalahan pengungkapan, prosedur dan metode misalnya, kesalahan klasifikasi, kesalahan dalam pengakuan pendapatan/biaya, metode pengukuran yang salah, kesalahan dalam menentukan koreksi fiskal, kesalahan dalam menentukan nilai kompensasi akumulasi kerugian, dan sebagainya.

Sebagai akibat dari kesalahan di atas, maka kesalahan penyajian dalam laporan keuangan dapat terjadi pada beberapa akun (rekening), antara lain akun biaya pajak, akun hutang pajak, dan akun pajak tangguhan. Sering akun-akun ini memiliki angka saldo yang material, sehingga selalu memancing keingintahuan pembaca laporan keuangan untuk meyakini keandalannya. Seorang Investor misalnya, selalu memasukan pos-pos tersebut sebagai bagian dari check-list pertanyaan yang akan ditanyakan kepada penyaji laporan keuangan. Auditor juga memasukkan akun-akun tersebut untuk diketahui isu audit yang kritikalnya (critical audit issue), dan tentu saja Kantor Pajak akan memberi perhatian sungguh-sungguh untuk memeriksa keandalan angka-angka pada akun-akun tersebut.

Apabila dikaitkan dengan jenis-jenis pajak, maka kesalahan pada akun-akun di atas dapat terjadi dari berbagai jenis pajak. Namun untuk yang berkaitan dengan pajak tahunan yang dilaporkan pada bulan Maret, maka jenis pajak yang amat besar berkontribusi pada salah saji akun di atas adalah Pajak Penghasilan Badan, dan Pajak Penghasilan Karyawan (PPh Pasal 21).

Dalam Pajak penghasilan badan (perusahaan), penyebab kesalahan bisa ditimbulkan oleh kesalahan dalam menghitung laba kena pajak. Kita mengetahui bahwa laba kena pajak (laba fiskal) adalah laba yang disesuaikan dari laba akuntansi. Dengan demikian kesalahan laba kena pajak bisa dimulai dari kesalahan penentuan laba akuntansi. Dalam menghitung laba akuntansi kesalahan umumnya disebabkan oleh tidak tepatnya melakukan pengakuan atas pendapatan dan biaya. Penentuan pendapatan sebagaimana ditentukan oleh standar akuntansi yang berlaku umum seharusnya menggunakan basis akrual, kecuali untuk hal tertentu dapat dilakukan dengan basis kas. Dalam praktek, basis akrual ini secara sengaja maupun tidak sengaja kadang menjadi “celah” untuk mengakui atau tidak mengakui pendapatan pada waktunya, karena basis akrual yang menetapkan pengakuan pendapatan dilakukan ketika “risiko yang signifikan dan kepemilikan telah diserahkan” kadang menjadi subjektif dan tidak ditemukan patokan untuk menetapkan signifikansi risiko telah beralih. Misalnya ketika mengakui pendapatan atas penjualan jasa, bagaimana menetapkan signifikan risiko telah beralih jika pihak pembeli dan penjual jasa belum sepakat mengenai signifikansi penerimaan jasa tersebut.

Selain masalah akrual, pengakuan pendapatan untuk beberapa transaksi di industri tertentu adalah rumit. Misalnya pada jasa konstruksi yang diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 34 tentang Akuntansi Kontrak Konstruksi, Pada industri ini pengakuan pendapatan dilakukan dengan percentage of completion method yang perhitungannya tidak sederhana. Pada industri pengembangan real estate, pengakuan pendapatan juga diatur khusus sebagaimana diatur dalam PSAK 44 tentang Akuntansi Aktivitas Pengembangangan Real Estat. Disini pengakuan pendapatan juga tidak sederhana, karena harus mempertimbangkan besarnya uang muka dari pembeli, proses pengembangan tanah, dan sebagainya. Kompleksitas pengakuan dan pengukuran pendapatan ini meningkatkan risiko bawaan salah saji dalam penyajian pendapatan dalam laporan keuangan.

Demikian juga pengakuan biaya, kesalahan perhitungan laba akuntansi bisa terjadi karena kesalahan dalam mengukur dan mengakui biaya yang juga menggunakan basis akrual. Untuk industri yang dicontohkan di atas pengakuan biaya diatur khusus dalam PSAK tersendiri, yang juga penerapannya tidak sederhana dan seringkali menimbulkan perdebatan penafsiran dan penerapannya antara akuntan manajemen sebagai penyusun laporan keuangan dengan akuntan auditor.

Dalam melakukan penyesuaian laba akuntansi menjadi laba fiskal, kesalahan dapat terjadi dalam menentukan koreksi fiskal. Alasan terjadinya kesalahan adalah karena kurang akuratnya memasukkan mana-mana biaya yang harus dimasukan sebagai koreksi fiskal. Ada dua jenis koreksi yang digunakan , yaitu beda waktu (temporer) dan beda tetap (permanen). Beda temporer yaitu perbedaan karena dalam perhitungan laba fiskal mengakui biaya lebih cepat atau lebih lambat daripada akuntansi, sedangkan beda permanen adalah manakala pajak tidak akan mengakui biaya sedangkan akuntansi mengakuinya sebagai biaya. Beberapa koreksi karena beda permanen bersifat samar (grey area), sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda beda oleh penyusun laporan pajak dan laporan keuangan.

Untuk PPh pasal 21, salah saji juga dapat disebabkan oleh kesalahan perhitungan beban PPh 21, terutama apabila perusahaan membayar tunjangan PPh atau menanggung PPh karyawan. PPh pasal 21 karyawan sejatinya adalah beban yang harus dibayar oleh karyawan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan pemungutan oleh pemberi kerja dari gaji yang dibayarkan, kemudian pada bulan berikutnya selambat-lambatnya tanggal 10 disetorkan ke kas Negara. Pada setiap akhir tahun, atau umumnya Maret, pajak yang dihitung, dipotong dan disetorkan ke kas Negara dihitung kembali untuk mengetahui angka akhir PPh pasal 21 tahunannya. Namun demikian, terdapat beberapa perusahaan yang memiliki kebijaksanaan untuk membayar gaji dengan metode bersih (net) kepada karyawan, artinya beban pajak karyawan dibayar dengan cara ditunjang atau ditanggung oleh perusahaan. Dalam hal perusahaan menunjang atau menanggung beban pajak penghasilan karyawan maka risiko bawaan salah saji, baik karena error maupun fraud cenderung meningkat. Ada beberapa perusahaan yang secara tidak sengaja kurang memasukan komponen yang seharusnya menjadi dasar pengenaan pajak, yaitu komponen selain gaji pokok. Misalnya, tunjangan makan, transportasi, jamsostek dan sebagainya. Disamping itu, ada pula perusahaan yang melakukan kesengajaan tidak memasukkan komponen tersebut dalam perhitungan pajak karyawannya. Sehingga dengan tidak termasuknya seluruh komponen dasar pengenaan pajak, maka pajak yang dibayar dengan cara ditunjang atau ditanggung oleh perusahaan menjadi lebih kecil. Lebih keliru lagi, kalau perusahaan memang tidak memasukkan seluruh gaji karyawan dalam perhitungan pajak, dalam hal ini hanya karyawan tertentu saja yang dihitung (biasanya sebagian karyawan tetap), sedangkan karyawan tidak tetap tidak dihitung, dibayar, dan disajikan dalam laporan keuangannya.

Hal lain yang berkaitan dengan perpajakan, adalah terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagai hasil dari pemeriksaan pajak oleh kantor pajak. SKP umumnya diterbitkan untuk tahun pajak yang telah lewat. SKP memuat ketetapan lebi bayar atau kurang bayar atas pajak tahun fiskal tertentu. Apabila terjadi kekurangan bayar tahun lalu, maka SKP dibayarkan pada tahun SKP tersebut diterbitkan. Apabila kewajiban tersebut jumlahnya besar, artinya kesalahan dalam SPT dan laporan keuangan tahun yang lalu besar, maka akan memberatkan bagi sebagian perusahaan untuk mencatat pembayaran SKP tersebut pada tahun dibayarnya kekurangan pajak (tahun berjalan). Oleh karena itu, beberapa perusahaan mencatat pembayaran tersebut sebagai koreksi laba rugi tahun lalu. Disinilah letak potensi salah saji, karena keberatan dari sebagian manajemen perusahaan untuk membebani kinerja tahun berjalan dengan kesalahan yang dibuat pada tahun lalu. Terlepas dari adanya keberatan, maka dengan mengacu kepada PSAK yang berlaku, yaitu PSAK 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan paragraf 34, perlakuan SKP tersebut diatur sebagai berikut: “Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendpatan atau beban lain-lain pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan/atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya. Apabila terdapat kesalahan mendasar, maka perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK No. 25 ….”


Masih berhubungan dengan PSAK No. 46, perhitungan pajak penghasilan perusahaan juga menimbulkan dampak untuk menyajikan aktiva atau kewajiban pajak tangguhan dalam laporan keuangan. Dalam PSAK 46 paragraf 7 didefinisikan bahwa aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya ; a) perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan b) sisa kompensasi kerugian. Sedangkan kewajiban pajak tangguhan adalah Jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak. Karena pajak tangguhan ini dipengaruhi oleh perbedaan tidak tetap (temporer), dan sisa kompensasi kerugian, maka salah saji laporan keuangan untuk akun pajak tangguhan dipengaruhi oleh keakuratan dan kejujuran akuntan manajemen dalam menyajikan perbedaan temporer dalam menghitung PPh badannya. Perbedaan temporer bisa timbul dari berbagai transaksi, seperti penyusutan aktva tetap, biaya imbalan paska kerja, biaya pemerolehan dalam suatu penggabungan usaha yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasi pada aset dan kewajiban tertentu berdasarkan dasar nilai wajar, dan sebagainya. Sedangkan mengenai kompensasi kerugian (rugi fiskal), sumber kesalahan dalam perhitungan pajak tangguhan adalah kurang telitinya dalam mempertimbangkan jangka waktu kerugian yang dapat diperhitungkan, yaitu kerugian selama 5 tahun terakhir, dan kekurangcermatan dalam menggunakan kompensasi kerugian, dari seharusnya rugi fiskal namun yang digunakan adalah rugi akuntansi.

Risiko kesalahan lain dalam penyajian akun pajak tangguhan adalah penggunaan metode perhitungannya. Beberapa akuntan manajemen yang menghitung pajak tangguhan hanya dengan pendekatan laba-rugi (income statement approach). Dengan pendekatan ini perubahan pajak tangguhan yang dicatat dalam akun biaya/pendapatan pajak tangguhan dihitung dari besarnya perubahan beda temporer atau akumulasi rugi tahun berjalan. Sebagai akibatnya, angka saldoaktiva/kewajiban pajak tangguhan sering menjadi tidak akurat. Kesalahan sejenis ini dapat dihindari apabila perhitungan pajak tangguhan menggunakan pendekatan neraca (balance sheet approach), atau apabila masih dilakukan dengan pendekatan laba-rugi harus diikuti dengan rekonsiliasi agar saldo aktiva/kewajiban pajak tangguhan sesuai dengan cara pendekatan neraca.

Kembali kepada Maret, adalah bulan saat para akuntan amat sibuk dengan penyusunan laporan keuangan, perhitungan, serta pelaporan Pajak. Pajak umumnya memiliki pengaruh yang signifikan pada penyajian laporan keuangan. Kesalahan dalam melakukan perhitungan pajak atau kesalahan pengungkapan, metode dan prosedur akan berdampak pada kesalahan dalam penyajian laporan keuangan. Akuntan sebagai profesi yang bertangggungjawab dalam penyajian laporan keuangan mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mencegah terjadinya kesalahan tersebut. Baik akuntan manajemen maupun akuntan auditor dengan kemampuan profesionalnya harus sudah menyadari disamping risiko bawaan pada akun pajak untuk salah saji, juga terdapat penyebab lain timbulnya kesalahan yang harus diantisipasi dan diditeksi sehingga salah saji akun pajak dalam laporan keuangan dapat diminimalisir.

Dipublikasikan pada Majalah Akuntan Indonesia edisi No. 7/Tahun II/April 2008

No comments:

Waktu Jakarta, Bangkok dan Hanoi

Search Google

Jumlah Pengunjung Website

Daftar Pengunjung Website

Lokasi Pengunjung

Saat Ini On Line

Statistik Pengunjung Sejak 4 Februari 2009

free counters